style="position:absolute; top: 0px; right: 0px;" />

Senin, 29 September 2014

Kedatangan pemain Mahabarata ke Indonesia

Mahabharata, Tanggal Kedatangan Pemeran Pandawa ke Indonesia – Ini adalah kabar baik bagi Anda para penggemar berat serial Mahabharata yang ditayangkan di ANTV setiap hari. Kabarnya para pemeran utama serial Mahabharata ini akan datang ke Indonesia dan mengadakan pertunjukan langsung Mahabharata Show pada bulan Oktober mendatang.
Kabar kedatangan para pemeran utama Mahabharata ke Indonesia ini terungkap melalui akun Twitter @panaharjunaANTV berikut ini
kedatangan mahabharata
Melalui akun Twitter resmi @PanahAsmaraArjunaANTV tersebut disebutkan bahwa para pemain akan berkunjung ke Indonesia dan mengadakan Konser Mahabharata Show pada tanggal 3 Oktober 2014 mendatang, tepatnya mulai jam 18.15 WIB (Live).
Selain mengadakan Konser Mahabharata Show secara live, kabarnya juga akan ada acara Meet & Greet dan penjualan merchandise Mahabharata di tempat acara, namun sayangnya masih belum diumumkan kapan dan dimana acara tersebut akan berlangsung.
Tak hanya memberikan info tentang tanggal kepastian kedatangan pemain Mahabharata, akun tersebut juga memberikan informasi siapa saja pemain yang akan datang ke Indonesia. Menurut akun tersebut tujuh pemain Mahabharata dipastikan akan datang menemui penggemar mereka di Indonesia.
Ketujuh pemain tersebut adalalah Rohit Bharadwaj pemeran Yudhistira, Saurav Gurjar pemeran Bima, Shaheer Sheikh pemeran Arjuna, Lavanya Bharadwaj pemeran Sadewa, dan Vin Rana pemeran Nakula dan dua pemain tambahan lainnya yang ikut serta adalah pemeran Duryudana yakni Arpit Ranka dan Aham Sharma pemeran Karna.
“Jadi, teman-2 yang akan datang ke Indonesia adalah : Para Pemeran Pandawa 5 (semua) Ditambah Pemeran Duryodhana Pemeran Karna. Jelas ya :),” kicau akun @PanahAsmaraArjunaANTV di Twitter.
Bagi Anda yang mengaku penggemar berat serial Mahabharata, catat tanggal tersebut dan pastikan Anda mengikuti infomasi selanjutnya agar tidak ketinggalan ikut acara meet & greet bersama para pemeran utama mahabharata dan menonton langsung Konser Mahabharata Show.
 





Sumber: Solopos.com

perjalananke Gunung Himalaya

Pengadilan Terakhir
Dritarastra, Gandhari dan Kunti terbakar dilalap api di pertapaan mereka di dalam hutan. Krishna dan bangsa Yadawa punah karena mereka saling membunuh. Setelah para sesepuh dan sekutu Pandawa mati menurut suratan hidup masing-masing, mereka menobatkan Parikeshit, putra Abhimanyu dari Uttari, menjadi raja di Hastinapura .




Setelah upacara penobatan selesai, Pandawa dan Draupadi berkemas, lalu pergi mendaki Gunung Himalaya untuk mencapai kediaman Batara Indra. Seekor anjing menyertai mereka dalam pengembaraan mendaki gunung suci itu. Dalam perjalanan panjang, mereka berziarah ke tempat-tempat suci dan melintasi hutan belantara yang dihuni berbagai binatang buas, setan, jin dan makhluk-makhluk gaib lainnya .

Kelima Pandawa, Draupadi dan anjing mereka berjalan siang malam tanpa henti .

Pada suatu hari, mereka tiba di kaki Gunung Himalaya lalu mulai mendaki dengan susah payah. Dalam pendakian ke puncak, satu per satu mereka jatuh ke dalam jurang lalu lenyap ditelan bumi.



Yang pertama kali jatuh adalah Draupadi. Dosanya adalah karena ia sangat mencintai Arjuna, lebih daripada keempat saudaranya.

Setelah Draupadi, menyusul Sahadewa. Dosanya ialah terlalu percaya diri dan terlalu yakin akan kesaktiannya hingga meremehkan dewa-dewa dan orang lain.

Kemudian, Nakula. Kesatria ini memuja ketampanannya sendiri dan merasa bahwa keyakinan dan pandangannya yang paling benar.

Setelah itu Arjuna jatuh ke jurang. Arjuna terlalu yakin akan kemampuannya untuk menghancurkan semua musuhnya. Demikian besar keyakinannya, hingga ketika jatuh, ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus berusaha bangkit, sampai-sampai turun sabda dari surga yang mengatakan bahwa ia tak mungkin berkeras memegang keyakinannya selama ia masih ada di dunia.

Arjuna disusul Bhimasena yang merasa kekuatannya bagaikan angin topan yang mampu menghancurkan bumi .

Meskipun keempat saudaranya dan Draupadi sudah hilang ditelan bumi, Yudhistira terus mendaki bersama anjingnya. Ia pupus duka di hatinya dengan memanjatkan doa-doa dan mengucapkan mantra-mantra. Ia terus mendaki, makin lama makin tinggi, sampai tiba di suatu tanah datar yang cukup luas. Di hadapannya terbentang nyala api kebenaran, menerangi jalan yang ditempuhnya. Di kanan kiri jalan itu tebing dan jurang menganga dalam kegelapan .

Ia bisa membedakan dengan jelas, mana kegelapan, mana bayangan dan mana kebenaran sejati. Ia berjalan terus ditemani anjing kesayangannya yang setia dan tak pernah sesaat pun lepas dari sisinya. Sesaat pun tak pernah dilepaskannya tali itu, walaupun istri dan saudara-saudaranya telah mendahului meninggalkannya .

Akhirnya ia tiba di pintu gerbang surga dan disambut Batara Indra yang mempersilakannya naik ke keretanya. Tetapi Yudhistira menolak sebelum ia mengetahui keadaan Draupadi dan saudara-saudaranya.

Katanya, “Aku berterima kasih kau sambut masuk ke surgamu. Tetapi aku tidak mau jika istri dan saudara-saudaraku tidak ada di sana.”

Batara Indra meyakinkan Yudhistira bahwa istri dan saudara-saudaranya telah mendahuluinya. Ia juga menjelaskan bahwa Yudhistira paling akhir “dipanggil” karena ia memikul tanggung jawab raga yang terakhir. Ketika naik ke kereta Batara Indra bersama anjingnya, ia ditolak .




“Tidak ada tempat bagi anjing di surga,” kata Batara Indra .

“Kalau demikian, bagiku juga tidak ada tempat di surga. Tidak mungkin bagiku meninggalkan anjingku yang setia menemaniku dalam suka dan duka,” jawabnya .

Setelah menjawab demikian, Yudhistira turun dari kereta kahyangan itu bersama anjingnya. Batara Indra senang mendengar jawaban Yudhistira, sebab Yudhistira menunjukkan kasih sayang, kesetiaan, dan penghormatan kepada teman hidupnya, meskipun temannya itu hanya seekor anjing. Batara Indra mempersilakan Yudhistira lagi naik ke keretanya dan kali ini anjingnya diijinkan ikut. Begitu naik ke kereta, anjing itu lenyap .

Yudhistira masuk ke surga bersama Batara Indra.

Di sana ia melihat Duryodhana yang duduk di singgasana indah keemasan, disinari cahaya kemuliaan dan dilayani bidadari-bidadari cantik jelita.

Tetapi Yudhistira tidak melihat Draupadi, Bhimasena, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa di situ. Karena itu, ia menolak untuk tinggal lebih lama di situ tanpa istri dan saudara-saudaranya. Dalam hati ia heran, kenapa Duryodhana yang angkara murka, yang telah mengorbankan sanak saudaranya untuk memenuhi nafsu dan ambisinya sekarang bisa duduk di singgasana itu dengan penuh kemegahan? Mengapa Draupadi dan saudara-saudaranya yang selalu hidup mematuhi dharma tidak ada di situ? Yudhistira sangat kecewa .

“Katakan, di mana istri dan saudara-saudaraku! Aku ingin berkumpul dengan mereka, di mana pun mereka berada,” kata Yudhistira .

Batara Narada menghampiri putra Pandu itu dan berkata, “Wahai anakku, di surga tidak ada perbedaan. Tidak patut engkau berpikir buruk. Duryodhana yang gagah berani mencapai tingkat ini karena kekuatan dharma-nya sebagai kesatria. Jangan biarkan pikiran-pikiran buruk bertakhta dalam ragamu yang tidak kekal. Hukum surga melenyapkan segala perasaan dan pikiran buruk. Tinggallah engkau di sini!”

Yudhistira tetap menolak untuk tinggal di surga tanpa istri dan saudara-saudaranya .

Melihat keteguhan Yudhistira, Batara Indra menyuruh bidadari surga mengantarkannya ke tempat saudara-saudaranya. Perlahan-lahan rohnya meninggalkan raganya. Roh Yudhistira kemudian masuk ke tempat yang sangat gelap, licin dan berbahaya. Sebentar-sebentar terlihat seberkas api menyala seram. Bau busuk menusuk hidung dan suara-suara aneh menggema menyeramkan .

Makin jauh ia meraba-raba dalam kegelapan, makin terasa olehnya bahwa ia memasuki gua yang dalam dan berlumpur busuk. Bau mayat dan bangkai yang membusuk menusuk hidung. Suara-suara seram itu membuat bulu kuduknya berdiri. Makin jauh ia masuk ke dalam gua, suasana semakin menyeramkan. Mayat manusia dan bangkai binatang bergelimpangan. Ada yang tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa tangan, ada yang matanya melotot, ada yang isi perutnya terburai. Semua menyeramkan. Yudhistira semakin jauh tenggelam dalam neraka sampai akhirnya ia tidak dapat bergerak lagi. Ia terjepit di antara mayat dan bangkai yang membusuk. Ia tak tahan lagi mencium bau busuk itu. Kepalanya pusing .

Akhirnya ia bertanya, “Katakan sebenarnya di mana Draupadi dan saudara-saudaraku berada. Berapa jauh lagi tempat mereka? Aku tidak menemukan mereka di sini.”

Bidadari itu menjawab, “Kalau sudah tak tahan, kau boleh kembali!”

Yudhistira memang sudah tak tahan. Ia ingin kembali. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang merintih kesakitan, suara-suara yang ia kenal, “Dharmaputra, jangan berbalik. Kehadiranmu di sini membuat hati kami tenang dan duka kami seakan hilang. Bergabunglah dengan kami. Mari kita hadapi siksaan ini agar kita memperoleh kedamaian abadi!”

Walaupun hampir pingsan, Yudhistira masih sempat bertanya, “Siapakah kalian yang berkata-kata demikian dalam gelapnya neraka? Kenapa kalian ada di sini?”

Satu demi satu suara-suara itu menjawab, “Wahai Raja yang bijaksana, aku Karna,” jawab suara pertama.
Disusul suara kedua, “Aku Bhima,”
Lalu suara ketiga, “Aku Arjuna, saudaramu.”
Suara-suara lainnya menyusul, “Aku Draupadi.”
“Aku Nakula.”
“Aku Sahadewa.”
Suara lain berkata, “Kami putra-putra Draupadi.”

 Diikuti suara-suara lain yang bergema dalam gelap. Mendengar suara-suara yang ia kenal, Yudhistira sangat kecewa. Tidak seperti yang dia harapkan, yang terjadi adalah sebaliknya! Semua saudara dan sekutunya yang telah menjalankan dharma dalam hidupnya, kini berada di dunia paling bawah, di neraka! Sedangkan orang seperti Duryodhana dan saudara-saudaranya, yang jahat dan angkara murka, malah bersenang-senang di surga .

Kepada bidadari yang mengantarkannya Yudhistira mengucapkan terima kasih dan berkata, “Katakan kepada Batara Indra, aku memilih tinggal di neraka bersama istri dan saudara-saudaraku daripada di surga bersama Duryodhana dan Kaurawa. Sekarang, kembalilah engkau ke kahyangan Batara Indra dan sampaikan pesanku kepadanya.”

Bidadari itu meninggalkan Dharmaputra untuk menyampaikan pesannya kepada Batara Indra .

Yudhistira telah memasuki dunia maya. Tiga belas hari lamanya ia tenggelam dalam dunia maya itu. Kemudian Batara Indra dan Batara Yama muncul. Suasana gelap, bau busuk dan pemandangan mengerikan itu perlahanlahan menghilang. Sinar terang muncul, berpendar-pendar sangat indah. Bau harum semerbak menyusupi hidung ketika kedua batara itu muncul di hadapannya .

“Wahai kesatria bijak, ini adalah ketiga kalinya aku menguji keteguhan jiwamu. Engkau memilih untuk tinggal di neraka bersama istri dan saudara-saudaramu. Engkau menolak tinggal di surga bersama Duryodhana dan Kaurawa. Engkau tetap setia pada anjingmu .

“Ada keharusan bagi arwah para kesatria dan raja untuk tinggal di neraka selama beberapa waktu. Engkau telah merelakan dirimu untuk merasakan penderitaan di neraka. Hari ini hari ketiga belas, hari yang tepat untuk mengakhiri penderitaan itu. Sebenarnya, tak seorang pun ada di neraka. Tidak Krishna, tidak Karna, tidak Draupadi, juga yang lain. Semua itu maya. Tempat ini bukan neraka, melainkan surga,” kata Batara Yama .

Demikianlah, setelah Batara Yama selesai berkata-kata, keadaan berbalik. Pandawa dan sekutunya yang semua tinggal di neraka kini diangkat ke surga. Sementara itu, Kaurawa dan sekutunya yang pernah mencicipi indah dan damainya surga, diturunkan ke neraka .

Setelah mengalami berbagai cobaan, Yudhistira menghadapi pengadilan terakhir. Yudhistira menemui kedamaian abadi, terlepas dari beban pikiran dan perasaan yang mengikat manusia dengan hal-hal duniawi. Dia kemudian bersemayam bersama Batara Indra di surgaloka .

Demikianlah, kebajikan akhirnya menang melawan kebatilan

Dendam Drupadi


Drupadi lahir dari api suci upacara putrakarma yang dilakukan oleh raja Drupada dari kerajaan Panchala karena dendamnya kepada Drouna sahabatnya yang telah mempermalukan dirinya. Rasa sakit hati dan dendam yang mendalam membuat Raja Drupada mengadakan upacara suci putrakarma memohon kepada dewata agar dikaruniai anak sempurna yang akan membalaskan sakit hatinya atas perlakuan Drauna yang telah menawan dirinya dan mempermalukan dirinya di depan murid-muridnya. Drouna yang telah menyuruh Arjuna dan Bima berhasil menawan Raja Drupada dan membawa Raja Drupada kepadanya dalam keadaan terikat. Rasa malu yang ditanggungnya membuat ia bersumpah untuk membalas perlakuan Drouna.

Permohonan Drupada terkabul dari dalam api korban suci keluar dua sosok pribadi yang dianugerahkan dewata kepadanya. Sesosok laki-laki tampan lengkap dengan pakaian perang yang gagah perkasa dan diberinya nama Drestadyumna dialah yang nantinya akan membalaskan dendam Drupada membunuh Drouna. Dan sesosok perempuan yang cantik jelita dengan warna kulit kehitam-hitaman dan rambut kebiru-biruan dialah Drupadi. Dialah Khrisna karena warna kulitnya kehitam-hitaman, dialah Panchali karena dia putri Panchala dan dialah Drupadi karena dia putri Raja Drupada.
Drupadi lahir membawa dendam untuk membalaskan sakit hati ayahandanya. Dia memilih jalannya dan menjalani takdirnya, sebagaimana yang tersirat dari pesan dalam batin dan doa ayahandanya untuk mencari sosok laki-laki sempurna yang akan mendukungnya dan sekaligus dalam genggaman kekuasaannya. Dan dalam kelembutannya Drupadi mempunyai kekuatan untuk itu. Karena dia anugerah dewata.
Drupada dan Drouna adalah sahabat karib yang tak terpisahkan, waktu masih sama-sama belajar pada seorang brahmana miskin putra Baradwaja. Persahabatan yang tulus dan sehati waktu masih sama-sama sependeritaan dalam belajar di pertapaan. Drouna adalah seorang yang miskin, sedangkan Drupada adalah putra seorang raja kerajaan Panchala, tetapi tidak ada perbedaan dan tidak ada jarak sebagai sesama murid di pertapaan itu. Yang ada adalah saling berbagi dan saling mendukung sebagai sahabat. Mereka tak terpisahkan. Bahkan sempat terlontar ucapan Drupada kepada Drouna, kelak bila ia menjadi raja maka ia akan memberikan sebagian kerajaannya kepada Drouna. Dan Drouna memegang janji itu. Waktu terus berlalu, sampai kemudian tiba saatnya mereka selesai belajar dan berpisah. Drupada kembali ke kerajaan Panchala, sementara Drouna yang miskin meneruskan belajar ilmu dengan mengembara dan menjalani hidup sebagai pertapa.
Dan akhirnya sepeninggal ayahandanya Drupada benar-benar menjadi raja, dan menikmati hidup sebagai raja yang mempunyai kekuasaan dan disibukkan dengan berbagai urusan kerajaan. Waktu terus berlalu sementara Drupada hidup sebagai raja, Drouna terus dalam pengembaraannya dan persahabatan mereka terputus sekian lama. Sampai suatu saat Drouna teringat ucapan sahabatnya sewaktu masih sama-sama belajar di pertapaan dulu, dengan harap-harap cemas berangkatlah ia ke kerajaan Panchala, kerinduannya pada sahabat membuat langkahnya makin mantap ke kerajaan Panchala, ditambah keadaan dirinya dan anak isterinya yang hidup miskin tidak ada pengharapan lagi. Kemana lagi jika bukan pada sahabat lamanya Drupada.
Manusia boleh berencana dan berjanji muluk-muluk, tetapi keadaan dan kenyataan hidup bisa mengubah segalanya. Dan semua janji yang nampaknya indah di awal bisa lain kenyataan di kemudian hari. Drouna yang berangkat dengan penuh harapan dan keyakinan, alangkah terkejutnya mendapat perlakuan Drupada sahabatnya dahulu. Belumlah sempat terlontar ucapan untuk menagih janji, Drouna sudah diusir dengan perlakuan kasar dan ucapan yang menyakitkan hati. Drupada tidak mengakui Drouna sebagai sahabatnya, tidak layak seorang raja Panchala berteman dengan seorang brahmana miskin seperti Drouna. Lain sekali dengan ucapan Drupada waktu masih sama-sama menderita sebagai murid di pertapaan. Kekuasan dan kelimpahan telah melupakan semuanya. Drouna diusir dan tidak diakui sebagai sahabat Drupada. Rasa kecewa dan sakit yang mendalam dialami Drouna, begitu mudahnya Drupada melupakan persahabatan mereka. Berakhirlah persahabatan mereka dengan meninggalkan luka yang mendalam dalam diri Drouna, rasa kecewa, sedih, malu dan sakit hati dia bawa keluar dari istana kerajaan Panchala dan melahirkan dendam dalam diri Drouna. Dia bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di kerajaan Panchala lagi dan akan membalas perlakuan Drupada saatnya kelak.

Kepedihan dan sakit hati yang dialami Drouna dia bawa dalam pengembaraannya meninggalkan kerajaan Panchala. Dia ikuti jalan hidupnya yang tiada menentu entah membawanya kemana. Beruntunglah nasib baik membawa Drouna ke Kerajaan Hastina. Dan di Hastina Drouna diterima menjadi guru bagi putera-putera kerajaan, dia menjadi guru dari Kourawa dan Pandawa. Disinilah titik awal Drouna akan memulai hidup barunya. Rasa berhutang budi, dan rasa terima kasihnya kepada kerajaan Hastina, dia curahkan pengabdiannya pada kerajaan Hastina, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama Drouna mendapat tempat terpercaya di kerajaan Hastina. Meskipun sebenarnya di dalam hatinya menunggu kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya kepada Drupada yang telah mengkhianati persahabatan dan mempermalukan dirinya di hadapan rakyat Panchala.
Drouna melihat bakat di antara anak-anak Kourawa dan Pandhawa, tetapi nampaknya anak-anak Pandhawa lebih serius dalam belajar dibandingkan anak-anak Kourawa. Dan anak-anak Pandhawa mempunyai bakat dan kemampuan lebih selain budi pekerti yang jauh lebih baik dari anak-anak Kourawa. Drouna jatuh hati pada anak-anak ini, diberikannya seluruh ilmunya. Berbagai ilmu kanuragan, teknik berperang, menggunakan senjata dan lain sebagainya. Kini kesempatan untuk membalas dendam dapat ia wujudkan.
Setelah waktunya dirasa cukup, Drouna mengetes murid-muridnya. Disuruhnya murid-muridnya menyerang Kerajaan Panchala dan menawan raja Drupada dan membawanya ke hadapannya dengan catatan jangan dilukai cukup diikat saja. Pertama-tama disuruhnya Kourawa berangkat, tetapi Kourawa tidak berhasil mereka pulang dengan tangan hampa. Kemudian Pandhawa disuruhnya berangkat, dan Pandhawa berangkat dan berhasil menyerbu kerajaan Panchala. Arjuna dan Bima berhasil menangkap dan mengikat raja Drupada dan membawanya ke hadapan Drouna. Inilah kesempatan yang ditunggu Drouna bertahun-tahun.
Dan di hadapan murid-muridnya Drouna menagih janji raja Drupada sahabatnya dulu. Kini raja kerajaan Panchala dalam tawanannya, artinya kerajaan Panchala ada dalam genggaman Drouna, dan Drouna bisa bertindak apapun. Tetapi Drouna hanya mengingatkan dan memberi pelajaran kepada Drupada agar berlaku sebagai raja yang bijak. Dan selanjutnya raja Drupada dilepaskan lagi, dan disuruhnya Arjuna dan Bima mengantarkan Drupada kembali ke kerajaannya dan memperlakukan dia layaknya sebagai seorang raja. Drupada tidak mengiyakan atau menolak permintaan Drouna untuk membagi setengah dari kerajaannya. Tapi rasa malu yang diterimanya melahirkan dendam dalam hati Drupada. Adalah lebih baik mati dibunuh daripada diperlakukan demikian.
Drupada tidak segera kembali ke kerajaan tetapi mengembara mencari orang yang bisa membantu membalaskan dendamnya kepada Drouna kelak. Sedangkan dia melawan muridnya pun dia kalah. Ia iri pada Drouna yang mempunyai banyak murid yang taat kepadanya, sedangkan ia hanya memiliki seorang anak banci yang mempunyai sifat kewanita-wanitaan Sri Kandhi. Dia menginginkan seorang anak laki-laki yang sempurna gagah perkasa. Dalam pengembaraannya Drupada bertemu dengan brahmana Yodya dan Upayodya yang bersedia membantu Drupada mencapai cita-citanya. Setelah bertapa dua tahun, Drupada kembali ke kerajaan Panchala. Kemudian diadakanlah upacara putrakarma, memohon kepada dewata agar dikaruniai anak yang sempurna.
Permohonannya terkabul, dari dalam api suci keluar sosok laki-laki tampan gagah perkasa lengkap dengan membawa senjata, disusul kemudian sosok perempuan cantik jelita dengan warna kulit kehitam-hitaman. Drestadyumna adalah sosok yang dilahirkan untuk membalas dendam sakit hati ayahandanya untuk membunuh Drouna. Sedangkan Drupadi sosok yang dilahirkan dari rumitnya jiwa dan takdir yang harus dijalani manusia. Dan dia memahami kegundahan hati ayahnya, karena memiliki anak yang menurut pandangan umum kurang dihargai seorang banci Sri Kandhi.
Sri Kandhi adalah putra sulung Drupada, dia setengah pria dan setengah wanita. Dia banci. Kekecewaan tak dapat disembunyikan dalam diri Drupada, dia menginginkan anak lelaki yang sempurna atau wanita yang sempurna. Tetapi apa yang dipikirkan manusia berbeda dengan apa yang dikehendaki dewata. Sri Kandi membawa takdirnya sendiri yang tidak dipahami manusia. Dialah kelak yang akan mempermalukan keangkuhan manusia. Dialah kelak yang akan sanggup membunuh seorang kesatria besar yang disegani di seluruh negeri, disaat semua kesatria tidak ada yang sanggup mengalahkannya. Dialah Sri Kandhi kelak yang akan sanggup membunuh Bisma. Dan kelak seluruh dunia akan tahu, bahwa seorang kesatria besar ternyata kalah hanya oleh seorang banci.
Drupadi berdiri di tengah-tengah antara jiwa seperti Sri Kandhi dan jiwa seperti semua keinginan ayahnya yang tak terucap, tapi dapat dipahami dalam batinnya. Drupadi menghargai kakaknya Sri Kandhi dan memahami jiwanya, kegelisahannya, disisi lain dia juga memahami keinginan ayahanda mereka. Drupadi memahami kepedihan yang dialami oleh seorang yang terlahir tidak sempurna, dan kecewa dengan sikap manusia yang tidak mampu menghargai ketidaksempurnaan, tetapi dalam diri Drupadi juga menghargai kesempurnaan, dan menginginkan kesempurnaan. Kerumitan ini melahirkan sikap tersendiri yang sulit dimengerti orang lain tapi dapat dipahami dalam jiwa manusia yang terdalam. Dendam, yah. Sebuah pilihan yang harus diambil atau dibuang, dan dua-duanya mempunyai resiko dan tanggungjawab moral masing-masing. Sebuah dilema yang sulit pun harus tetap mengambil keputusan. Dan Drupadi mengambil keputusan untuk menjadi dirinya, terlepas dari apakah itu sejalan atau menuruti keinginan ayahandanya atau tidak, Drupadi tetap Drupadi dan kelak pada akhir hidupnya orang baru dapat mengerti Drupadi. Tetapi sepanjang hidup Drupadi, tidak ada yang memahami jiwanya. Dialah api suci. Dialah yang harus mengakhiri dendam diantara semua dendam, dia tahu jalannya, dan dia pilih jalannya.


Simbolisasi Gelung dan Kehormatan Drupadi
keseluruhannya memakai tembang Jawa ini terbagi atas empat babak. Gerak tari yang gemulai dan musik yang sublim mengawali kelahiran Drupadi yang dilahirkan dari api suci para dewa. Kecantikan, ketenangan dan keluhuran budi membuat Drupadi menjadi rebutan, termasuk Duryudana dan Dursasana dari kalangan Kurawa, penolakan Drupadi membuat keduanya menyimpan dendam. Akhirnya pilihan Drupadi jatuh kepada Yudistira, kesatria dan sulung dari Pandawa. Menjadi berbeda dengan konteks di India, di mana Drupadi bersuamikan ke lima Pandawa.

Penyatuan Drupadi dan Yudistira disimbolkan dengan pemakaian gelung dan kain di tubuh Drupadi, sebagai simbol kebesaran perempuan. Tetapi keagungan itu dikotori oleh jebakan permainan dadu oleh Kurawa pada Pandawa. Pandawa menjadi lupa diri meski taruhannya adalah semua kerajaan dan isinya, termasuk bunga kerajaan Pancala, Drupadi. Dalam peristiwa ini, terasa pencapaian konflik yang dihubungkan dengan situasi Indonesia masa kini, para pemimpin yang haus kekuasaan dan mempertaruhkan rakyat pada Pemilu.

Kekalahan dan pertaruhan Pandawa terpaksa diterima oleh Drupadi untuk menjaga kerhormatan Pandawa. Malangnya Drupadi, Dursasana tanpa adab menarik gelung dan melucuti kain Drupadi, atas bantuan para Dewa, kain itu terus terjulur tanpa henti, seperti terlihat pada panil relief Candi Jago abad ke-13. Tetapi api dalam diri Drupadi kian membakar, Drupadi bersumpah akan memakai gelung kembali setelah keramas dengan darah Dursasana.

Pada akhir pertunjukan, dendam Drupadi terbayarkan dengan kekalahan Kurawa di perang Bharatayudha. Namun cukup disayangkan karena ritual “rambut tergelung kembali” dengan pensucian oleh darah Dursasana menjadi antiklimaks, karena peristiwa ritual tersebut terlalu lama tempo waktunya, selain harus bersandingan dengan peristiwa Yudistira kembali ke dewata dan Drupadi memutuskan untuk tetap tinggal sebagai ibu bumi.

Metafora gelung tiap babak terbangun kuat oleh tari dan musik sebagai media utama pertunjukan. Gerak tari tradisi dan kontemporer arahan Wasi Bantolo dan Sri Wardoyo cukup memukau. Kehebatan garapan musik dari Rahayu Supanggah tidak menjadi sekedar irama, tapi mampu menghidupkan pertunjukan. Video mapping dan multimedia yang mulai laku di drama tari hampir satu dasawarsa ini juga menjadi penopang kemewahan visual, meski ada beberapa multimedia yang cenderung dipaksakan dan membuat penonton mempertanyakan korelasinya dengan panggung.

Pertunjukan ini kaya akan "teks lewat tembang" yang memiliki arti filosofis, hanya lebih cocok jika kebanyakan penonton mengerti bahasa Jawa halus dan penonton lain cukup dipuaskan dengan tari dan musik. Filosofis makna Drupadi lewat gelung justru mewujudkan identitas ketangguhan dan kebijaksanaan pribadi Drupadi untuk awalnya bersabar dan merelakan dirinya, tetapi pada akhirnya Drupadi melawan karena api dalam dirinya tidak pernah padam untuk melawan kesewenangan. Bahkan lebih menarik lagi bila kita merenungi, sebenarnya feminisme juga telah muncul lewat sejarah (Candi Boko) dan cerita pewayangan. Akhirnya, semoga penggambaran pulung “perwahyuan" gelung ini tidak akan hilang dimakan zaman sebagai simbol kehormatan perempuan.

 


Sumber:  (Ratu Selvi Agnesia, penulis lepas seni budaya)

pancawala

Pancawala
Pancawala atau Pancakumara adalah sebutan untuk lima orang putra Dropadi dari hasil perkawinannya dengan Pancapandawa dalam wiracarita Mahabharata. Istilah Pancakumara berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “paƱca” yang bermakna lima dan “kumara” yang bermakna putra.
Nama-nama Pancakumara
Nama kelima orang Pancakumara yang dilahirkan oleh Dropadi tersebut antara lain adalah:
1. Pratiwindya putra Yudistira
2. Sutasoma putra Bimasena
3. Srutasena putra Arjuna
4. Satanika putra Nakula
5. Srutakerti putra Sahadewa
Kisah Kematian
Peran Pancakumara dalam cerita Mahabharata jika dibandingkan dengan putra Pandawa lainnya, terutama Abimanyu dan Gatotkaca. Meskipun demikian, Pratiwindya berhasil membunuh Dursasanaputra, yaitu tokoh yang mengakhiri nyawa Abimanyu dalam perang di Kurukshetra.
Setelah perang berakhir, Duryodana sang pemimpin Korawa dalam keadaan sekarat sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima untuk meneruskan pertempuran. Aswatama disertai dua orang rekannya yang masih hidup, yaitu Krepa dan Kretawarma menyusup ke dalam perkemahan pihak Pandawa.
Di dalam kemah tersebut, Aswatama membunuh Drestadyumna, pangeran dari Kerajaan Pancala. Ia kemudian menemukan lima orang pria dalam keadaan tertidur. karena mengira kelimanya adalah Pandawa, Aswatama pun langsung membunuh mereka. Selain itu Aswatama juga membunuh Srikandi, kakak Drestadyumna.
Ternyata lima orang yang tewas dibunuh Aswatama sewaktu tidur bukan para Pandawa, melainkan Pancakumara.
Versi pewayangan
Pancawala atau Pancakumara dalam pewayangan, terutama di Jawa bukan terdiri dari lima orang, tetapi hanya seorang saja. Pancawala versi ini adalah putra Yudistira dan Drupadi.
Menurut Mulyono dalam artikelnya yang berjudul Dewi Dropadi: Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa, menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita antara kitab Mahabharata dengan versi pewayangan Jawa adalah karena pengaruh perkembangan agama Islam[1]. Setelah Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh, munculah Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat, tidak diberantas ataupun dilarang melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam.
Dalam nersi aslinya, Dropadi menikah dengan kelima Pandawa karena perintah ibu mereka yang menyuruh tanpa sengaja. Meskipun demikian, para pujangga Islam tetap saja memandang poliandri sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu, Dropadi versi Jawa pun dikisahkan hanya menikah dengan Yudistira saja, dan berputra satu orang bernama Pancawala.
Dalam versi ini, Pancawala menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwati putri Arjuna. Pregiwati memiliki kakak bernama Pregiwa yang menjadi istri Gatotkaca putra Bimasena.
=====Wikipedia===
Raden Pancawala putera Prabu Yudistira dengan Dewi Drupadi. la menjadi anak angkat Raden Wrekudara, karena disebut roman mukanya serupa Wrekudara. Dalam perang Baratayudha ia dibunuh oleh Aswatama pada waktu tidur. Maka ibu Pancawala menangis dengan menyesal, karena kematiannya bukan lantaran perang, sedang waktu itu dalam perang Baratayudha.
BENTUK WAYANG
Raden Pancawala bermata jaitan, hidung, mancung, muka tenang. Rambut terurai bentuk gembel, terhias dengan garuda membelakang dengan sunting waderan. Berkalung kesatria (bulan sabit). Kain katongan (kerajaan).
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.
=========================
Adalah putra Yudhistira dan Drupadi. Sejak kecil sebenarnya sudah memperlihatkan bakatnya dalam olah kanuragan dan ilmu kautaman yang tinggi.
Namun peristiwa menyedihkan terjadi, dimana dia terpedaya oleh gerombolan perompak yang dihasut oleh Kurawa. Pancawala tak sadar diri cukup lama. Sampai membuat Gatotkaca masgul merasa gagal melindungi kakak sepupunya ini.
Dia sembuh dari sekarat, tapi kesaktiannya tak kembali semula. Dia menjadi orang yang lemah, sehingga kemudian lebih banyak belajar ilmu seni dan kautaman.
Kancah di perang Baratayudha juga tak banyak. Dia mati setelah Baratayudha, ketika ada penyusup masuk ke negri Hastinapura bermaksud membunuh penerus tahta, Parikesit. Lawannya terlalu sakti baginya.


PERNIKAHAN PANCAWALA
Lamaran Pancawala anak dari Puntadewa diterima oleh Arjuna. Pancawala akan dinikahkan dengan putrinya Pergiwati di kesatrian Madukara. Hal yang masih berupa pembicaraan keluarga ini disepakati akan diresmikan. maka segeralah Ngamarta mengirim orang untuk melakukan lamaran resmi. sedianya yang akan melakukan lamaran adalah Sri Bhatara Kresna mewakili baginda raja Puntadewa.

Kabar beredar juga ke Hastina. Di Hastina Drona membikin suatu strategi. dia mengajukan sebuah usulan agar melamar Pergiwati dan disandingkan dengan Lesmana Mandrakumara putra mahkota Hastinapura. sang Prabu Duryodana setuju. maka berangkatlah utusan dari Hastina Pura, yaitu Resi Drona, Baladewa dari Mandura dan Karna raja Ngawangga.
Utusan dari Hastina tiba, lalu karena pakewuh singkat cerita Arjuna menerima lamaran dari Hastina. dan bersiaplah pesta diadakan antara Lesmana Mandakumara dengan Pergiwati. Sementara itu untuk memberitahu ke Ngamarta Arjuna mengirim Petruk dan Punakawan untuk menyampaikan berita bahwa lamaran Pancawala dan Ngamarta di tolak.
Punakawan sampai di Ngamarta, rombongan penglamar sudah siap berangkat. mereka kaget ketika menerima kabar bahwa lamaran di tolak. Werkudoro sangat marah karena menilai penolakan adalah suatu kekurangajaran Arjuna kepada kakaknya, Puntadewa. Werkudoro dilerem oleh Puntadewa. Akhirnya Kresna dan Werkudoro ke Madukoro untuk ikut menghadiri undangan pernikahan Pergiwati dan Lesmana.
Pancawala merasa sedih, dan dihibur Punakawan. Punakawan berjanji akan membantu. lalu mereka segera pamit dari siti hinggil Ngamarta dan pergi ke Madukoro untuk mengupayakan agar Pergiwati mau untuk menikah dengan Pancawala. Sementara Puntadewa mengundurkan diri dari siti hinggil dan menemui Drupadi. Berkata bahwa Arjuna menolak lamaranya. Drupadi sangat marah dan sedih. lalu meminta agar Punta dewa mau membalas penghinaan Arjuna. Sangking menahan emosi sudah lama, tak kuat lagi. Puntadewa seketika menjadi raksasa yang menggetarkan jagad. Segera pergi ke Madukoro akan memangsa Harjuna.
Di taman kaputren Madukoro. Lesmana masuk ketemu Pergiwati. Sebenarnya ke 2 orang ini saling suka, tapi saling malu malu. Dengan sedikit intrik intrik Pancawala memeriksa kesetiaan Pergiwati. Akhirnya Pergiwati menangis dan mengaku menerima lamaran Lesmana karena takut ayahnya. Akhirnya Pancawala dan Pergiwati bercumbu ditaman. Ketahuan, lalu geger. dengan bantuan Antasena, Antaredja dan Gatotkaca para penghantar penganten kurawa bisa dipukul mundur.
Arjuna marah mendengar kabar ini, tapi sebelum Arjuna sempat mengatasi kerusuhan di kaputren, Madukoro kedatangan raksasa luar biasa besar. Arjuna kewalahan menghadapinya. sampai lari dan bersimpuh dibawah kaki Kresna. Disana Kresna berkata apakah Arjuna sadar kesalahanya kepada Puntadewa? Arjuna mengaku salah. lalu dusuruh oleh Kresna untuk memakai baju putih putih bersama Pergiwati dan Pancawala untuk datang bersujud di kaki raksasa.
Raksasa menjadi terharu dan berubah wujud kembali menjadi Puntadewa. dan akhirnya pernikahan Pancawala dan Pergiwati dilangsungkan.


 


Story of Abimanyu

Arti nama Abimanyu

Abimanyu terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu abhi (berani) dan man'yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman'yu secara harfiah berarti "ia yang memiliki sifat tak kenal takut" atau "yang bersifat kepahlawanan".

Kelahiran, pendidikan, dan pertempuran

Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.

Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.

Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.

Kematian Abimanyu

Pada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.

Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut.

Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.

Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.

Arjuna membalas dendam

Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya sebelum matahari tenggelam. Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan dan Jayadrata tidak dalam perlindungan mereka lagi. Saat kereta Arjuna dekat dengan kereta Jayadrata, matahari muncul lagi dan Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata.

Penjelasan mengenai kematian Abimanyu

Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.

Putera Abimanyu, yaitu Parikesit, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia yang masih sangat muda.

Abimanyu dalam pewayangan Jawa

Dalam khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu, sebagai putra Arjuna, merupakan tokong penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa yang sudah berkembang lain daripada tokoh yang sama di India.

Riwayat Abimanyu dalam versi pewayangan Jawa

Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina. Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat "Wahyu Cakraningrat", suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.

Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu:

* Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi;
* Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan
berputera Parikesit.

Bharatayuda



Bambang Sumitra, mengendalikan kuda kereta perangnya melaju dengan cepatnya, memasuki medan laga Tegal Kurusetra.. Sedaaangkan  Abimanyu dengan gagah berani berdiri di atas kereta perang,nya yang ditarik  kuda pusaka Ciptawilaha, milik ayahandanya, Arjuna yang merupakan pemberian Resi Wilawuk sekaligus dengan  cemeti kyai Pamuk.

Suara lecutan pusaka cambuk kyai Pamuk, menggelagar di angkasa, Abimanyu berusaha menerobos pertahanan Astina  yang menggunakan gelar pertahanan Cakrabriha. yang diciptakan oleh para sesepuh Astina.. Hanya Bisma dan Resi Durna lah yang dapat menciptakannya.

Abimanyu mengimbangi lajunya kereta perang yang disaisi oleh Bambang Sumitra. Dan di sepanjang jalan, Abimanyu. memanah para senapati Astina, sehingga banyak para senapati Astina yang gugur..
Abimanyu berpapasan dengan uwa nya Adipati Karna. Adipati Karna menyapa Abimanyu, agar Abimanyu pulang saja karena masih terlalu muda untuk berperang.  Adipati Karna hanya  mengharap agar Arjuna saja  yang datang menandingi dirinya. Sehingga tidak terlalu banyak korban yang berjatuhan dalam perang ini.. Abimanyu homat kepada uwanya. Abimanyu hanya memberikan senyumannya pada uwanya,.Kreta perang Abimanyu  tetap melaju dengan cepatnya. Abimanyu tetap berjalan menuju pusat pertahanan Kurawa. Abimanyu   mengejar pembunuh saudara saudaranya para putera Arjuna. Prabakusuma, Brantalaras dan Wilugangga, yang telah gugur dimedan bakti. Abimanyu melepaskan panah panah saktinya ke arah pasukan Kurawa. banyak korban brjatuhan dari pihak Kuraawa..

Sementara itu Lesmana Mandrakumara melepaskan anak panah kepada sais Bambang Sumitra. Bambang Sumitrapun tewas terkena anak panah Lesmana Mnndrakumara. Dengan tewasnya Bambang Sumitra, menjadikan  kereta perang Abimanyu ,tidak terkendali. Keretapun terguling. Sementara itu Abimanyu behasil meloncat dari kereta perang dan melepaskan anak panah terhadap Lesmana Mandrakumara yang telah membunuh Bambang Sumitra, kakaknya,. .Lesmana Mandrakumara, anak Prabu Suyudana pun tewas terkena panah sakti Abimanyu. Kini Warsasena, anak Adipati Karna yang melihat tewasnya Lesmana Mandrakumara,menjadi terkejut dan tidak merelakan, maka ia berusaha membalas  kematian Lesmana Mandrakumara. Warsasena mencoba melawan Abimanyu. Namun Abimanyu lebih lincah dalam memanah. Sehingga Warsasena tewas pula terkena panah Abimanyu, gugurlah cucu kesayangan Batara Surya.  Abimanyu tanpa disadari semakin memasuki wilayah pertahanan Kurawa, yaitu Cakrabriha. Abimanyu terjebak dalam strategi perang Kurawa,  setelah mengejar pembunuh saudara saudaranyan,.tanpa memperhatikan strategi perang pihak Kuirawa,

Abimanyu mengejar para pembunuh saudara saudaranya, yang lari masuk kedalam daerah pertahanan Kurawa,  yaitu Cakrabriha. yang sudah dipersiapkan untuk menjebak Abimanyu.  Sehingga  terpisahlah Abimanyu dari Gatutkaca dan para tokoh Pendawa yang lain.

Sementara itu kuda pusaka Ciptawilaha, melihat majikannya di keroyok musuh, menjadikan kuda Ciptawilaha menjadi binal. Kuda Ciptawilaha menjadi beringas dan mengamuk di medan perang Tegal Kurusetra.

Kuda Ciptawilaha, dengan kekuatan kepalanya menyundang nyundang dan kaki kaki nya yang kokoh yang menenyepak nyepak,  melabrak pasukan Astina, sehingga pertahanan Cakrabriha menjadi kocar kacir, banyak para perajurit dan para Senapati terbunuh..Kurawa berlarian menyelamatkan diri, Sementara itu Pendita Durna meneriintahkan agar kuda Ciptawilaha ditangkap. Akhirnya Dursasana melempar jala untuk mennangkap kuda Ciptawilaha, Kuda Ciptawilaha pun tertangkap oleh Dursasana. Namun karena kuda itu bukan kuda sembarangan, maka tiba tiba kuda itupun sirna, tidak satu pun orang mengetahui keberadaan kuda Ciptawilaha sekarang.

Beberapa anak Panah  menancap pada tubuh Abimanyu. Makin lama makin banyak anak panah menancap ditubuh Abimanyu. Namun Abimanyu masih kokoh berdiri, dan masih kuat menarik gendewa serta melayangkan anak anak panah saktinya ke arah musuh. Abimanyu yang sudah diranjap ratusan anak panah yang menancap di seluruh bagian tubuh nya.. Abimanyu masih kokoh kuat  berdiri dfan masih kuat melayangkan anak panah saktinya kepada para musuh, Sakit akibat luka terkena panah tidak dirasa, sampai akhirnya Jayadrata seorang Kurawa pengecut harus beerbuat nista, Dengan diam diam mendekati Abimanyu dari belakabng, dan membabat kepala Abimanyu, hingga putus.. Keperkasaan Abimanyu pupus sudah.,  Abimanyu pun gugur. Gugurnya Abimanyu membuat bala Kurawa bersorak gegap gempita, Abimanyu mati, Abimanyu mati !!!

Berita gugurnya Abimanyu dan saudara saudaranya, membuat Arjuna tiada berdaya lagi. Disinilah peran Prabu Sri Bathara Kresna untuk membangun kembali semangat Arjuna. Namun Arjuna masih bersedih hati dan akhirnya  bersumpah bahwa ia akan membakar diri apabila sampai matahari terbenam belum bisa membalas kematian Abimanyu.

Prabu Sri Batara Kresna terperanjat mendengar sumpah Arjuna.Prabu Kresna menyayangkan sumpah Arjuna. Prabu Kresna berpikir keras, karena waktu sampai dengan matahari tenggelam, sangatlah singkat. Arjuna belum tentu bisa membunuh pelakunya. Prabu Kresna mohon pada Dewa, agar langit berubah seperti waktu matahari terbenam. Dewa agaknya memenuhi permintaan Prabu Sri Batara Kresna., yang tak lain titisan Bathara Wisnu Langit yang tadinya siang terang benderang, tiba tiba menjadi  senja menjelang malam. Kejadian perubahan waktu menjadi senja, idak ada seorangpun mengetahui, kalau semua itu perbuatan Prabu Kresna. Para Kurawa merasa senang tiibanya waktu senja, karena di waktu waktu itu Arjuna akan melakukan perbuatan bodohnya. yaitu melakukan  melaksanakan Pati Obong.

Para Kurawa tanpa takut takut lagi menonton Arjuna yang mau akan melakukan pati obong.Termasuk juga Jayadrata yang telah membunuh Abimanyu.Arjuna dan Prabu Kresna berdiri diatas panggung tempat pati obong, dengan api yang menyala nyala dibawahnya. Jayadrata terlihat membuka sedikit kain penutup jendela keretanya, sebagai tempat persembunyiannya, ingin juga ia melihat Arjuna melaksanakan pati obong. Namun ternyata Arjuna melihatnya, dengan cepat menarik anak panah Pasopati nya, dan bagai kilat, menyambar batang leher Jayadrata. Jayadrata tewas seketika.

Setelah Jayadrata tewas, langit menjadi siang kembali, perangpun terus dilanjutkan sampai matahari tenggelam.

Jayadrata adalah pangeran dari kerajaan Banakeling. Ayahnya bernama Begawan Sapwani. Jayadrata adalah anak ciptaan begawan Sapwani, Waktu itu Begawan Sapwani, sudah lama menikah, namun belum mendapatkan seorang puterapun. Begawan Sapwani kemudian pergi bertapa di hutan Setragandamayit, tempat bayi bungkus dibuang.

Kelahiran Bratasena, berkat bantuan seekor gajah putih yang dikirim oleh para dewa, dari Kahyangan. Gajah yerseburt  bernama Gajahsena. Gajahsena membantu kelahiran bungkus, yaitu dengan menginjak injak bayi bungkus sampai bungkus itu pecah. Bayi Bungkus pun lahirlah. Bungkus terkejut, ada seekor gajah besar didekatnya,yang akan menginjaknya. Bungkus menjadi marah. Bayi bungkus ada di dalam bungkus selama berumur 10  tahun,  ia menempeleng kepala gajah sebesar itu. Gajahsena  pecah kepalanya.

Karena Gajahsena terbunuh oleh Bungkus, maka olehBatara Narada yang turun dari kahyangan, Bungkus diberi nama Sena atau Bratasena. Sedangkan bungkust empat bayi itu tertinggal di hutan, yang kemudian ditemukan Begawan Sapwani. Oleh Begawan Sapwani,  di ciptakannya menjadi seorang bayi laki laki. Oleh Begawan Sapwani bayi itu diberi nama Jayadrata atau Tirtanata.

Begawan Sapwani sangat sayang kepada puteranya yang selalu memantau kemana pergi puteranya, walaupun dari jarak jauh. Sampai Begawan Sapwani melihat kesengsaraan yang dialami puteranya,maka dengan kekuatan  batinnya, ia memanggil kembali puteranya, agar kembali kepertapaan Banakeling. Namun yang datang hanya kepala puteranya. Sang Begawan sangat sakit hatinya. Melihat keadaan puteranya, yang tinggal kepalanya,. Maka dengan kesaktiannya, sang Begawan Sapwani menghidupkan kembali puteranya Jayadrata, dan mengirimkannya kembali ke medan perang Tegal Kurusetra. Sementara itu putera putera Arjuna, yang sedang berperang, Kumalasekti, Kumala dewa, Antakadewa,Bambang Wijanarka terkejut ketika tiba tiba saja datang kepala Jayadrata. Mereka digigitnya sampai mati. Jayadrata mnjadi "gundul pringis" yang sangat mengerikan. Sisa Putera laki laki Arjuna yang masih hidup,  semua binasa digigit kepala Jayadrata.



Melihat keadaan itu. Prabu Kresna dengan kesaktiannya, dari jarak jauh, menemui Begawan Sapwani , memperingatkan Begawan Sapwani, jangan menyakiti putranya Jayadrata. Karena ia sudah meninggal, dan sudah tentram di alam kalanggengan. Begawan Sapwani tidakmau tahu, ia tidak meelakan  kematian  putranya Jayadrata oleh Arjuna, sehingga sukmanya tidak tenteram, dan ingin membalas dendam.

Terjadilah adu kesaktian antara keduanya, Prabu Kresna memuja agar Jayadrata mati, namun Begawan Sapwani memuja hidup puteranya. Berpuluh kali Prabu Kresna mengatakan mati, tetapi Begawan Sapwani menjawab hidup.Setiap kali Prabu Kresna bilang mati, maka Jayadrata yang berujud hanya kepala, mati. Namun apabila ayahnya, Begawan Spwani bilang hidup, maka hidup pula Jayadrata.  Prabu Kresna capek juga menanti Begawan Sapwani untuk mengatakan mati pada Jayadrata.Terakhir Prabu Kresna  memuja mati, mati, mati, Prabu Kresna menyelipkan memuja hidup !!!,  tanpa diduga. Begawan Sapwani mengatakan mati !!!. Sehingga matilah kepala Jayadrata.

Pada waktu perabuan jasad Abimanyu, kedua istri Abimanyu, Dewi Siti Sendari dan Dewi Utari ingin ikut belapati, masuk dalam api yang sedang menyala-nyala membakar jasad Abimanyu. Namun Prabu Sri Batara Kresna hanya memperbolehkan Dewi Siti Sendari. Sedangkan Dewi Utari tidak diperkenankan, karena masih hamil mengandung bayi calon pewaris tahta Astinapura dari pihak Pandawa. Abimanyu gugur dalam Perang Baratayudha pada usia 16 tahun.

Perang Baratayuda

Baratayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.
Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha (Perang Bharata), yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama sama keturunan Raja Erlangga . Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis
Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.
Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.

Sebab Peperangan


Kurukshetra, lokasi tempat Bharatayuddha berlangsung (di India).
Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana.
Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa, tepatnya di dataran tinggi Dieng. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa.
Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, kenapa yang dipilih Gendari? Karena sekali lagi Dretarastra buta, ia tidak dapat melihat apapun, jadi ketika ia memilih ketiga putri itu yang dengan cara mengangkat satu per satu, terpilih lah Gendari yang mempunyai bobot paling berat, sehingga Dretarastra berpikir bahwa kelak Gendari akan mempunyai banyak anak, sama seperti impian Dretarastra. Hal ini membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Gendari merasa ia tak lebih dari piala bergilir. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.
Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu.
Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Sebenarnya Yudhistira (Saudara sulung dari Pandhawa), hanya menginginkan 5 desa saja untuk dikembalikan ke pandhawa. Tidak utuh satu Amarta yang dituntut. tetapi Korawa pun tidak sudi memberikan satu jengkal tanah pun ke pandhawa. Akhirnya keputusan diambil lewat perang Baratayuda yang tidak dapat dihindari lagi.

Kitab Jitapsara

Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara atau Jitapsara, yang berisi kurang lebih skenario (Jw.: pakem) jalannya peperangan dalam Baratayuda, termasuk urutan siapa saja yang akan menjadi korban. Kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, sebagai juru catat atas apa yang dibahas oleh Batara Guru, raja kahyangan, dengan Batara Narada mengenai skenario tadi.
Kresna, raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa, berhasil mencuri dengar pembicaraan dan penulisan kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih (Jw: Klanceng Putih). Ketika tiba pada bagian Prabu Baladewa diperhadapkan dengan Antareja, Klanceng Putih lalu menumpahkan tinta yang dipakai, sehingga bagian atau bab itu batal ditulis.
Klanceng Putih kemudian menjelma menjadi Sukma Wicara, yakni bentuk halus (sukma) dari Batara Kresna. Sukma Wicara memprotes diperhadapkannya Prabu Baladewa, yang adalah kakak Prabu Kresna, dengan Antareja, anak dari Bimasena; karena Baladewa pasti akan kalah dari Antareja. Selain itu, Sukma Wicara meminta agar diperbolehkan memiliki Kitab Jitapsara itu.
Batara Guru merelakan kitab Jitapsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta bersedia menukarnya dengan Kembang Wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Di samping itu, Batara Guru juga meminta Kresna untuk mengatur penyelesaian soal Baladewa dan Antareja. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Kitab Jitapsara yang telah ditakdirkan oleh dewata. Kelak, Kresna juga akan meminta Baladewa untuk bertapa di Grojogan Sewu selama perang Baratayuda, dan meminta kesediaan Antareja untuk kembali ke alam abadi, sehingga pertempuran di antara kedua ksatria itu tidak terjadi.[1]

Aturan Peperangan


Ilustrasi saat perang di Kurukshetra dalam kitab Mahabharata.
Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju.
Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima.
Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh para penasihat Duryudana yaitu Bisma, Durna dan Salya.

Pembagian babak

Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa.

  • Babak 1: Kresna Duta (Seta Gugur)
  • Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)
  • Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)
  • Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)
  • Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur)

  • Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
  • Babak 7: Jambakan (Dursasana Gugur)
  • Babak 8: Karna Tandhing (Salya Gugur)
  • Babak 9: Rubuhan (Duryudana Gugur)

Jalannya pertempuran

Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama.

Babak pertama

Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti "gunung samudra."
Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika.
Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.

Babak Kedua

Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna (Trustajumena) sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang (Garuda terbang).
Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna.
Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut di medan pertempuran menghadapi Bisma. Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi.

Kartamarma dalam bentuk wayang kulit, koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Kartamarma adalah salah satu dari seratus anak bersaudara laki-laki yang lebih populer disebut dengan Kurawa. Anak pasangan Destarastra dan Dewi Gendari ini bertempat tinggal di negara kecil yang ditaklukan Hastina, dan kemudian disebut dengan ksatrian Toyatinalang.
Di Hastinapura Kartamarma termasuk tokoh penting. Karena selain sebagai putra raja, sewaktu yang menjadi raja Destarastra, atau juga adik raja setelah yang menjadi raja Duryudana. Pada masa pemerintahan Prabu Duryudana ia diangkat menjadi ‘panitisastra’ atau sekretaris negara. Oleh karena itu, ia selalu hadir dalam setiap adegan atau cerita yang mengisahkan para Kurawa.
Walaupun Kartamarma tidak mempunyai kesaktian yang menonjol, ia adalah satu-satunya keluarga Kurawa yang tidak mati dalam perang Baratayuda. Ketika melihat gelagat bahwa Kurawa bakal kalah, Kartamarma menyingkir ke hutan sembari menunggu perang selesai. Di hutan Kartamarma bertemu dengan Aswatama, anak Pandita Durna dan Resi Krepa, guru Kurawa.
Setelah mendengar kabar bahwa Duryudana telah mati dan perang Baratayuda selesai Kartamarma dan Aswatama bermaksud kembali ke Hastina untuk menjemput Dewi Banowati. Kartamarma ingin menjadikan dia istrinya, sedangkan Aswatama bermaksud membunuh Banowati. Namun maksud keduanya tidak kesampaian, karena Dewi Banowati telah terlebih dahulu diboyong oleh Arjuna di perkemahan para Pandawa.
Akhirnya Kartamarma dan Aswatama merubah rencana. Mereka ingin menyusup ke perkemahan pada malam hari untuk membunuh para Pandawa. Dalam penyusupan tersebut Aswatama berhasil membunuh Banowati, Drestajumena, Pancawala, dan Srikandi namun kemudian ia ditangkap dan dibunuh Arjuna. Sedangkan Kartamarma dengan ditemani Resi Krepa menunggu di luar perkemahan. Keberadaan mereka berdua dipergoki oleh keluarga Pandawa.
Dihadapan Kartamarma dan Resi Krepa Prabu Kresna mengatakan bahwa menyusup di perkemahan pada malam hari untuk membunuh lawan yang sedang istirahat, merupakan sikap yang tidak terpuji. Sikap yang menanggalkan watak ksatria dan watak pandita. Oleh karenanya Prabu Kresna mengutuk Kartamarma dan Resi Krepa menjadi seekor ‘kutis’ yakni serangga pemakan kotoran.
Ada yang mengisahkan bahwa Kartamarma atau Kertawarma bukan salah satu anak pasangan Destrarastra dan Gendari, melainkan anak Prabu Herdika seorang raja di Kerajaan Bhoja. Dalam perang Baratayuda, Kertawarma memihak Kurawa. Hingga perang berakhir Kertawarma masih selamat. Ia kemudian pulang ke negaranya, untuk tidak berperang lagi.


Kisah Drupadi dan Pandawa

Bersuamikan lima ksatria Pandawa
Baginda Drupada, Raja Pancala, mengadakan sayembara memanah. Baginda memiliki busur pusaka sakti yang tak sebarang orang dapat menariknya. Busur itulah yang harus digunakan setiap peserta sayembara memanah yang diselenggarakannya untuk mendapatkan calon menantu. Barangsiapa dapat menariknya berpeluang menjadi jodoh yang akan dipilih sendiri oleh Dewi Drupadi, putrinya. Banyak raja dan ksatria mengikuti sayembara itu, termasuk para Kurawa dan Adipati Karna. Pandawa pun, dalam samaran sebagai brahmana, berbaur dengan para hadirin.
Para peserta dan penonton sebelumnya dijamu oleh Raja Drupada. Dewi Drupadi juga menghadiri perjamuan itu dengan karangan bunga yang akan dikalungkannya di leher pemenang yang nanti dipilihnya sebagai calon suami. Setelah perjamuan selesai, berkumpullah semua orang di tempat sayembara. Satu persatu peserta mencoba menarik busur itu, tetapi tak seorang pun berhasil.
Ketika sampai gilirannya, Adipati Karna segera maju. Baru saja ia mengangkat busur, terdengar teriakan Dewi Drupadi: “Aku tidak mau menikahi anak kusir kereta!”
Adipati Karna sangat malu. Diletakkannya kembali busur itu dan ia pun mengundurkan diri.
Hingga semua raja dan kastria mendapatkan giliran, tak seorang pun berhasil menarik busur itu. Arjuna pun tampil diiringi pandangan mata para raja dan ksatria yang tidak menyukai keikutsertaan seorang brahmana dalam sayembara itu. Namun Arjuna tidak menghiraukan mereka. Ia mengambil busur itu, menariknya dengan mudah dan mulai membidik sasaran yang ditentukan. Tak lama kemudian terdengarlah gemuruh sorak sorai. Anak panah bidikan Arjuna tepat mengenai sasaran. Hadirin pun terpesona oleh kesaktian Arjuna.
Dewi Drupadi sangat girang setelah mengetahui pemenang sayembara ayahandanya adalah seorang brahmana muda yang tampan. Ia segera berlari mendekati Arjuna dan mengalungkan karangan bunga ke leher sang pemenang, kemudian menariknya pergi dari tempat sayembara itu. Menyaksikan hal itu, Raja Drupada yang sesungguhnya tak ingin bermenantukan seorang brahmana pun senang karena pemenang sayembaranya itu seorang pemuda tampan yang sakti mandraguna. Namun para raja dan ksatria yang kalah mencemooh dan kemudian bahkan mengamuk. Maka Pandawa segera menghalau dan menundukkan para pengacau. Kemudian Pandawa memboyong Dewi Drupadi untuk menghadap Dewi Kunti.
Setelah semua berkumpul di hadapan Dewi Kunti, Yudistira, sulung Pandawa, melapor: “Ibunda, karena doa Ibunda, sayembara yang diadakan Raja Drupada telah dimenangi oleh Adinda Arjuna. Turut menghadap Ibunda saat ini adalah Dewi Drupadi, putri beliau. Sang Begawan Wyasa pernah mengatakan bahwa Dewi Drupadi akan bersuamikan lima orang sebagai anugerah dewa.“
Singkat cerita, Dewi Kunti pun akhirnya setuju para putranya menjadi suami Dewi Drupadi sekaligus.
Sang Kresna, raja bangsa Yudawa dan Baladewa kakaknya terlambat datang ke tempat sayembara. Setelah mengetahui bahwa sayembara telah berakhir dan pemenangnya adalah Arjuna yang menyamar brahmana, mereka pun menemui Pandawa. Sang Kresna mengatakan bahwa ia adalah saudara para Pandawa. Drestadyumna, kakak Dewi Drupadi juga datang ke tempat itu dan mengintip dari luar untuk mengetahui siapa sesungguhnya brahmana pemenang sayembara yang diadakan ayahandanya.
Setelah mengetahui bahwa brahmana itu adalah Arjuna, Drestadyumna bergegas pulang dan melapor kepada Raja Drupada. Baginda sangat girang mendengar keterangan Drestadyumna. Jauh di dalam hatinya ia memang berharap akan dapat menjadikan Arjuna, ksatria penengah Pandawa yang sangat terkenal itu, sebagai menantunya.
Esok harinya, Pandawa dipanggil oleh Baginda Drupada. Ia menyatakan kegembiraannya karena pemenang sayembaranya adalah Arjuna. Namun Arjuna mengatakan bahwa Dewi Drupadi sesungguhnya bukan hanya akan menjadi istrinya, melainkan istri Pandawa Lima sebagaimana telah dinyatakan oleh Begawan Wyasa. Dalam lima masa hidupnya yang lalu, Dewi Drupadi selalu memohon anugerah dewa agar bersuamikan ksatria utama. Ketekunannya telah menghasilkan anugerah istimewa yang sudah pasti mengejutkan Raja Drupada pula. Sungguh tak terduga bahwa putrinya akan menjadi istri kelima ksatria itu. Belum pernah terjadi seorang perempuan bersuamikan lima orang dalam saat yang sama. Pada umumnya, lelakilah yang beristri lebih dari seorang. Ia tak dapat menyetujuinya.
Ketika mereka sedang membicarakan hal itu, tiba-tiba datanglah Begawan Wyasa. Beliau menerangkan asal usul Dewi Drupadi harus bersuami lima orang sekaligus. Setelah mendengarkan keterangan itu, Raja Drupada pun pada akhirnya menyetujui putrinya bersuamikan Pandawa Lima. Turut hadir pula Hyang Narada yang juga memberikan keterangan serupa kepada Raja Drupada.
“Yang penting, keinginanku bermenantukan Arjuna sudah tercapai,” kata hati Raja Drupada yang segera memerintahkan penyelenggaraan pesta besar untuk merayakan perkawinan putrinya dengan Pandawa Lima.
Pandawa Lima yang beristrikan Dewi Drupadi mengadakan perjanjian untuk menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa mereka harus bergantian mendekati Dewi Drupadi, mulai dari Yudistira sebagai sulung Pandawa Lima, kemudian Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Yang melihat saudaranya sedang berduaan dengan Dewi Drupadi harus mengasingkan diri ke dalam hutan selama 10 tahun. Perjanjian itu disaksikan oleh Hyang Narada dan Begawan Wyasa.
Dari setiap Pandawa, Dewi Drupadi mendapatkan masing-masing seorang putra, berturut-turut: Srutakarma, Srutasena, Pratiwindya, Satanika dan Prasani.
Pertaruhan Drupadi
Patih Hastinapura, Arya Sakuni menasihati Prabu Duryudana yang hendak membalas dendam karena merasa telah dipermalukan ketika ia berkunjung ke Indraprasta, istana para Pandawa yang jauh lebih indah daripada istana Hastinapura. Arya Sakuni meyakinkan Duryudana bahwa Kurawa takkan mampu mengalahkan Pandawa jika Duryudana memilih perang sebagai jalan pembalasan dendamnya. Kemudian disepakatilah bahwa Kurawa akan menantang Pandawa berjudi.
Semula Sang Drestaratya, ayah para Kurawa, tidak setuju. Namun karena kelemahan hatinya, pada akhirnya ia mengutus Arya Widura untuk mengundang Yudistira dan para saudaranya datang ke Hastinapura untuk berjudi dengan Duryudana dan para saudaranya. Meskipun semula dicegah oleh adik-adiknya, demi menghormati undangan itu Yudistira pun memutuskan hadir ke Hastinapura untuk bermain dadu bersama para Kurawa. Yudistira selalu kalah. Seluruh harta yang dipertaruhkannya menjadi hak Kurawa. Karena kekalahannya itu, bahkan dirinya sendiri dan para saudaranya pun kemudian harus rela menjadi abdi Kurawa.
Arya Sakuni yang sangat licik mengetahui bahwa Duryudana menyimpan dendam kepada Pandawa karena ia tak dapat menyunting Dewi Drupadi saat ikut berlomba di Pancala. Sekarang Dewi Drupadi, perempuan yang kecantikannya tiada tara itu adalah istri kinasih Yudistira dan adik-adiknya. Inilah kesempatan emas bagi Duryudana untuk membalaskan dendamnya. Maka Yudistira pun ditantang untuk berani mempertaruhkan Dewi Drupadi dalam permainan dadu mereka.
Kekalahan membutakan mata dan hati Yudistira. Akhirnya ia setuju menjadikan Dewi Drupadi sebagai taruhan. Dan sekali lagi, ia kalah.
Duryudana sangat girang. Segera diperintahnya Arya Widura memanggil Dewi Drupadi ke arena perjudian. Nasihat Arya Widura yang mempertanyakan hak Yudistira mempertaruhkan Dewi Drupadi membuat Duryudana murka. Disuruhnya Dussasana adiknya untuk memanggil Dewi Drupadi. Bila Dewi Drupadi menolak, Dussasana diperintahkan untuk membawanya dengan cara kekerasan.
Alangkah girang Dussasana mendapatkan perintah itu. Ia segera merenggut rambut Dewi Drupadi dan menyeretnya ke arena. Yudistira memperingatkan agar Kurawa tidak bertindak sewenang-wenang terhadap perempuan. Namun peringatannya tak terdengar oleh Kurawa yang sedang mabuk kemenangan. Mereka terus mempermalukan Dewi Drupadi.
Bima yang tak dapat menahan kemarahannya hendak membakar tangan Yudistira karena kakaknya itu telah menyengsarakan hidupnya sendiri, adik-adiknya, rakyatnya dan kini istri mereka pula. Namun Arjuna dapat mencegahnya.
Adipati Karna membakar semangat para Kurawa dengan menyatakan bahwa semua yang dipertaruhkan Yudistira telah menjadi hak milik Kurawa. Pakaian yang dikenakan para Pandawa pun adalah milik Kurawa. Mereka harus menanggalkannya sekarang juga. Para Pandawa segera menanggalkan pakaian mereka hingga tertinggal penutup kemaluan saja. Dussasana menarik kain Dewi Drupadi. Namun ajaib, berkat pertolongan Hyang Wisnu, Dewi Drupadi tak sampai telanjang. Setiap kali pakaiannya ditarik Dussasana, selalu ada kain pengganti penutup tubuhnya.
Bima menggeram marah dan berkata: “Aku tak mau berkumpul dengan leluhurku sebelum dapat merobek-robek dada Dussasana dan minum darahnya!” Demikian pula Dewi Drupadi bersumpah takkan berkumpul dengan keturunan Kuru sebelum berkeramas dengan darah Dussasana.
Semua yang mendengar sumpah itu merasa takut. Namun Duryudana masih sempat melanjutkan penghinaannya dengan menyingkap kainnya dan menyinggungkan paha kirinya ke punggung Dewi Drupadi. Melihat kelakuannya itu, Bima yang sangat marah berujar: “Aku takkan berkumpul dengan leluhurku sebelum dapat menghancurkan paha kiri Duryudana dengan gadaku!” Sumpah Bima itu seolah disambut auman serigala dan tanda-tanda alam lain yang sangat mencekam.
Dewi Drupadi memohon kepada Sang Drestaratya agar menolongnya. Akhirnya Destraratya mengabulkan permohonan Dewi Drupadi. Yudistira dan saudara-saudaranya dibebaskan. Semua kekayaan Indraprasta dan hak yang dipertaruhkan dalam permainan dadu itu dikembalikan kepada Pandawa.
Pembebasan itu diejek oleh Adipati Karna yang melambangkan Dewi Drupadi sebagai perahu yang ditumpangi Pandawa. Kendati sangat marah, Pandawa menerima penghinaan itu dan sambil mengucapkan terima kasih kepada Drestaratya, mereka pun pulang ke Indraprasta.
Drupadi yang setia
Pengalaman kalah berjudi itu ternyata tak membuat Yudistira jera. Beberapa saat kemudian, ia menerima tantangan Duryudana untuk bermain dadu lagi. Taruhannya bukan harta. Yang kalah wajib mengasingkan diri selama 12 tahun di dalam hutan. Kemudian, pada tahun ketigabelas harus bersembunyi dalam samaran di sebuah negeri asing. Pada tahun keempatbelas barulah boleh pulang ke negeri sendiri. Namun, apabila dalam persembunyian itu mereka dapat ditemukan oleh pemenang, mereka yang kalah harus mengulangi pengasingan diri mereka sejak awal.
Dewi Gendari, istri Sang Drestaratya meminta agar suaminya tidak mengizinkan putra-putra mereka melaksanakan niat jahat itu. Tetapi permintaannya tidak dihiraukan. Izin sudah diberikan. Drestaratya tak ingin Kurawa selalu menjadi pecundang. Dan ia sadar Kurawa takkan dapat mengalahkan Pandawa dalam perkelahian yang jujur. Permainan dadu sudah terbukti dapat memberikan pengalaman menjadi pemenang bagi para putranya. Ia pun tahu bahwa Yudistira dan adik-adiknya tak pernah mengabaikan tantangan. Para ksatria Pandawa akan malu bila tak berani menanggapi tantangan.
Terjadilah perulangan kekalahan Yudistira dalam permainan dadu itu. Ia dan saudara-saudara beserta seluruh keluarga mereka harus segera berangkat mengasingkan diri diiringi ejekan Kurawa. Bima mengutuk muslihat Kurawa. Arjuna mengancam akan membunuh Adipati Karna dalam peperangan besar yang terjadi kelak. Sahadewa mengancam akan membunuh Sakuni dan Nakula akan membunuh sisa putra Sang Drestaratya yang masih hidup.
Namun demikian para Pandawa harus menjalani hidup terasing di dalam hutan sebagai akibat kekalahan Yudistira. Penderitaan itu mereka terima sebagai keniscayaan yang pada gilirannya akan meneguhkan kebersamaan mereka sebagai para ksatria.
Para kerabat dan sahabat Pandawa silih berganti berkunjung dan menghibur. Batara Kresna yang sangat marah berujar: “Bumi akan menghisap darah Duryudana, Karna, Dussasana dan Sakuni. Setelah para Kurawa dan sekutu-sekutu mereka hancur lebur, saya akan menobatkan Yudistira menjadi Raja Hastinapura. Orang jahat sepantasnya dibasmi dari muka bumi!” Ia sangat menyesal karena sedang berperang sehingga tidak dapat mendampingi Pandawa saat mereka bermain dadu di Hastinapura. Jika tak dicegah oleh Arjuna, saat itu juga Batara Kresna hendak membawa pasukannya untuk menyerbu Hastinapura.
Mendengar kisah Dewi Drupadi yang mengenaskan, Batara Kresna berkata: “Adinda Dewi, janganlah dikenang lagi kejadian-kejadian yang lalu karena kenangan buruk itu hanya akan merusakkan pikiranmu. Manusia takkan luput dari segala akibat perbuatannya. Demikian pula Duryudana yang telah menyakiti hatimu. Kelak istrinya akan menangis seperti Adinda sekarang ini karena melihat mayat suaminya menggeletak di tanah berlumuran darah. Perkataanku ini akan terbukti. Hentikanlah tangismu. Saya yakin Adinda kelak akan menjadi permaisuri raja gung binatara lagi. Percayalah!”
Dalam beberapa kesempatan, Dewi Drupadi mengeluh kepada Yudistira yang telah menyebabkan seluruh keluarganya menderita. “Kakanda, jika melihat tempat Kakanda tidur dan pakaian Kakanda dan saudara-saudara semua, hati hamba bagai diiris-iris sembilu. Padahal Kakanda adalah seorang raja gung binatara. Dulu Kakanda dan saudara-saudara semua tidur di tempat yang aman dan nyaman, menikmati aneka makanan yang lezat, berpakaian serba bagus dan bersih. Tapi lihatlah Kakanda dan saudara-saudara semua sekarang! Kita tidur terlantar di atas tanah tanpa alas, badan penuh debu. Kakanda tidak lagi duduk di singgasana dan disembah para raja! Dulu Kakanda dapat menjamu para pertapa dan menyenangkan hati mereka. Tetapi sekarang Kakanda sendiri sengsara, harus masuk keluar hutan dengan tak karuan tujuan. Tidakkah Kakanda kasihan kepada hamba yang mengikuti perjalanan Kakanda karena sudah jadi kewajiban hamba sebagai istri, sehidup semati dengan Kakanda? Kapankah Kakanda memperlihatkan keperwiraan dan keberanian untuk menegakkan keadilan yang merupakan kewajiban setiap orang? Bukankah Bima memiliki kekuatan yang melebihi sepasukan prajurit? Lupakah Kakanda akan kecakapan dan kesaktian Arjuna yang dengan kedua tangannya dapat membunuh ribuan musuh? Tak dapatkah mereka membangunkan semangat Kakanda untuk menghadapi musuh kita? Arjuna adalah pahlawan dunia, dihormati oleh para penghuni nirwana. Namun kini ia terpaksa menahan amarah karena patuh mengikuti kehendak Kakanda. Tidakkah Kakanda merasa iba kepada Adinda Nakula dan Sahadewa yang masih muda taruna, terpaksa mengabaikan kecakapan tempur mereka, menderita sengsara dalam hutan, dan membiarkan orang-orang yang berwatak angkara merajalela?”
Yudistira menjawab: “Adinda, ketahuilah bahwa ksatria yang tak dapat menahan diri dan suka memperlihatkan amarahnya akan mendapatkan celaan. Demikian juga orang yang tak mau mengampuni musuh yang pantas diampuni akan dicela oleh dunia dan terkutuk pula di akhirat. Orang yang selalu mengampuni musuh takkan mendapatkan kehormatan. Namun, orang yang sentosa budinya akan dapat menjalankan keadilan. Kakanda tahu sudah menjadi kewajiban Kakanda untuk tidak mengampuni musuh yang selalu ingin membinasakan kita semua. Sebenarnya keperwiraan Kakanda dan para adinda akan dapat menghancurkan musuh kita. Tetapi amarah itu merusak dan jadi sumber kesengsaraan. Orang yang marah tak dapat membedakan perkataan yang pantas dan tidak pantas diucapkan. Ia tak segan melakukan kekejaman maupun perkataan yang serba buruk. Akibat marah, orang tak segan menebarkan fitnah. Maka orang yang bijaksana selalu berusaha menahan amarahnya.
Wahai Adinda yang setia kepada suami, bagaimanakah Kakanda akan dikuasai amarah apabila Kakanda selalu berdaya upaya menghilangkan amarah dalam diri Kakanda? Orang yang tidak memerangi amarah orang lain akan dapat menolong diri sendiri dari kesengsaraan. Orang yang tak sentosa budinya – jika difitnah orang lain – seketika juga keluarlah amarahnya dan itu akan menyebabkan apa pun yang akan dilakukannya menjadi kurang dapat dikendalikannya sendiri. Apakah Adinda ingin Kakanda merusak diri sendiri?
Adinda, ketahuilah, orang yang lemah harus dapat menahan amarah. Orang yang punya belas kasihan lebih baik daripada orang yang berwatak jahil. Oleh karena itu Kakanda tidak ingin mengikuti amarah yang jadi sumber kesengsaraan. Kemarahan orang yang baik tidak meresap di hati. Yang waskita dan yang sentosa budinya ialah orang yang dapat menahan amarah. Orang yang marah tidak dapat memilih dengan tepat. Orang yang demikian umumnya tak suka menghormati orang lain. Malah jika didorong oleh kemarahannya, ia suka membunuh orang yang sebenarnya tak pantas dibunuh. Orang yang dikuasai oleh amarahnya tidak mudah mendapat kemuliaan dan keutamaan. Orang yang dapat menahan nafsu dapat mempergunakan kekuatannya dengan tepat.
Jika di dunia ini tak ada yang suka mengampuni, dunia takkan tenteram, selalu ada keributan yang bersumber pada hawa nafsu. Fitnah dibalas fitnah, anak polah bapak kepradah, saling membalas. Rusaklah dunia ini!
Adinda Drupadi, walaupun Kakanda akan membalas perbuatan Duryudana dan para saudaranya, Kakanda tidak mau melakukannya karena terdorong oleh amarah semata. Kakanda akan berusaha berlaku sejujur-jujurnya.”
Dewi Drupadi menjawab: “Kakanda, menurut pikiran hamba, dunia ini kurang adil. Bahagia tak dapat dicapai dengan menjalankan keutamaan, budi pekerti, suka mengampuni, suci hati dan tidak melanggar larangan. Buktinya Kakanda sendiri yang selalu menjalankan keutamaan tak juga mendapatkan kebahagiaan. Begitu pula saudara-saudara Kakanda! Sejak dulu hingga sekarang, Kakanda menganggap keutamaan lebih berharga daripada derajat duniawi. Kakanda menjadi raja gung binatara dengan maksud melindungi keutamaan yang buahnya akan melindungi Kakanda. Namun buktinya tidak demikian. Kakanda dan saudara-saudara Kakanda sekarang menderita sengsara.
Di lain pihak, karena terdorong oleh hawa nafsu, Kakanda telah melakukan tindakan yang tak terlebih dulu matang dipikirkan akibatnya. Kakanda kalah dalam permainan dadu sehingga menyengsarakan dan menghilangkan keutamaan kita semua. Saat itu hati hamba remuk redam.
Rupanya di dunia ini tak ada keadilan. Buktinya orang yang luhur budi pekertinya, suci bersih hatinya, justru mendapatkan hukuman. Sedangkan orang yang jahat malah mendapat kebahagiaan. Duryudana yang jahat bahagia, sebaliknya Kakanda yang selalu menjalankan keutamaan harus sengsara seperti ini. Jika memikirkan hal itu, hamba tak dapat mengatakan bahwa Hyang Widi adil.”
Yudistira berkata: “Adinda Drupadi! Janganlah kehilangan kepercayaanmu kepada Hyang Widi! Kakanda tidak mengharapkan hasil jerih payah Kakanda. Darma selalu Kakanda lakukan sebagai kewajiban setiap insan. Kakanda gemar melakukan keutamaan. Tetapi, orang yang mengharapkan buah keutamaan sesungguhnya meninggalkan keutamaan. Orang yang kurang tinggi budinya selalu bimbang dalam menjalankan kebajikan. Maka ia takkan dapat memetik hasil kebajikannya karena kurang percaya. Karena itu, janganlah bimbang dalam berbuat kebajikan. Siapa yang tidak percaya kepada agama, kepada keutamaan dan kepada ajaran suci, takkan mendapat tempat dalam kemuliaan abadi. Sang Wyasa, Sang Wasista, Sang Narada dan lain-lain bisa mencapai kemuliaan jiwa tak lain karena mereka telah menjalankan keutamaan.
Orang yang picik pengetahuan mengira bahwa benda kasat mata sajalah yang dapat mendatangkan kesenangan. Oleh karena itu, jika ia mengerjakan keutamaan, hatinya selalu bimbang. Orang yang demikian tidak akan diampuni dosanya. Selama hidup ia akan terlibat dalam kesusahan. Kelak pun ia takkan mendapat tempat yang menyenangkan di alam baka. Orang yang tak berlindung pada keutamaan akan menjelma kembali menjadi binatang.
Adinda Dewi, jika keutamaan tak menghasilkan buah berlimpah bagi kesentosaan budi, tak seorang pun sudi mengejar keutamaan. Jika demikian, dunia ini akan diliputi kejahatan dan hidup manusia tak ubahnya seperti binatang. Hasil keutamaan tak hanya bisa dipetik di dunia, melainkan juga di akhirat. Maka hilangkanlah kebimbanganmu dan teguhkan kepercayaanmu pada Hyang Widi. Janganlah mencela-Nya lagi.”
Dewi Drupadi menjawab: “Kakanda, hamba sama sekali tidak mencela dan menyalahkan Hyang Widi. Barangkali, kesengsaraan ini telah menggelapkan hati hamba. Tetapi, segala makhluk yang dapat bergerak semestinya bekerja. Manusia itu ditakdirkan berbeda-beda dan masing-masing wajib mengisi hidupnya dengan kerja. Orang yang tidak mau bekerja takkan mendapat kemajuan apa pun. Begitu pula hendaknya Kakanda bekerja supaya tak dicela dunia. Mengapa Kakanda tak berlaku sebagai layaknya ksatria utama, membela nusa dan bangsa dengan mengangkat senjata, menggempur musuh yang angkara murka? Jika tidak ada ksatria yang mau melakukannya, bukankah segala sesuatu yang ada di dunia ini akan musna oleh keangkaramurkaan? Jika keutamaan ksatria pun tak menghasilkan apa-apa yang berguna bagi nusa dan bangsanya, bukankah dunia takkan berkembang menjadi lebih baik daripada sebelumnya? Menurut hamba, salahlah orang yang hanya menerima takdir tanpa upaya memperbaiki jalan hidupnya sendiri, seolah-olah takdir, takdir, dan hanya takdir itulah penentu kehidupannya!
Menurut hamba pula, orang yang percaya bahwa setiap pekerjaan akan menghasilkan buah dan karena ia telah mengupayakannya sepenuh daya yang dianugerahkan pula kepadanya, ia pantas dipuji. Kini Kakanda menderita sengsara. Tapi, jika Kakanda mau bekerja sebagai layaknya ksatria, kerusakan dan kesengsaraan itu mungkin akan lenyap atau berkurang. Jika kita telah bekerja dengan sungguh-sungguh dan ternyata tak ada buahnya juga, barulah kita menyerah kepada takdir. Karena itu, Kakanda, marilah kita berjuang merebut kembali negeri kita dari tangan musuh!”
Bima yang sejak tadi menyimak pembicaraan Dewi Drupadi dengan kakaknya tak sabar menyela: “Kakak, hendaklah Kakak menempuh jalan yang biasa ditempuh para ksatria. Apakah gunanya kita menempuh hutan belukar seperti ini? Sudah terbukti, jika kita terus hidup begini, kita akan semakin kehilangan kebahagiaan, kehormatan dan kemuliaan. Negeri kita telah direbut Duryudana melalui permainan dadu. Apakah gunanya Kakak berpegang teguh pada keutamaan yang justru membawa kita ke jurang kesengsaraan? Karena kelalaian Kakak, Indraprasta sedemikian mudah dapat direbut musuh. Mereka tak mungkin melakukannya melalui jalan perang. Kami telah menurutimu menjalankan keutaman sehingga kehilangan kebahagiaan dan kehormatan. Kini Dewi Drupadi dan adik-adik menderita sengsara karena semua mematuhimu.
Kakakku, orang yang mau hidup mengembara dalam hutan seperti binatang adalah orang yang tak memiliki keberanian hidup di tengah tantangan dunia dan bersama dengan sesama. Orang yang berani tentu akan merebut kembali hak miliknya yang direbut musuh. Apakah Kakak sedemikian bingung hingga jadi lemah begini? Sudah lenyapkah watak ksatria Kakak? Keutamaan Kakak sajakah yang Kakak pikirkan dan tidak menghiraukan nasib saudara-saudara sendiri? Drestaratya dan Kurawa tentu mengira kita tidak berani melawan Duryudana. Mereka tentu mengira kita adalah para ksatria utama yang selalu mengampuni kesalahan mereka. Benarkah keutamaan itu lebih berarti daripada mati di medan laga? Kalau aku mati di medan laga tanpa luka, apakah ajalku itu berharga?
Kakak, kalau Pandawa berani berkurban jiwa dan raga, berperang merebut kembali negeri kita, niscaya seluruh dunia akan menghargai kita. Takkan ada yang berani mencela ksatria yang mengambil kembali haknya. Keutamaan yang menjerumuskan diri dan teman-teman ke jurang kesengsaraan bukanlah keutamaan sejati. Banyak orang yang gemar mengejar keutamaan pada akhirnya beku pikirannya. Tak lagi dapat merasakan girang dan susahnya kehidupan.
Kakak, keduniawiaan tak dapat dicapai hanya dengan minta-minta, tetapi harus dengan budi pekerti yang berazas keutamaan. Pekerjaan meminta-minta tak selayaknya dilakukan para ksatria. Keutamaan ksatria terdapat dalam kekuasaan dan keberanian meraih dan mempertahankannya sekuat tenaga. Ayolah, Kakak, marilah kita menjalankan keutamaan ksatria! Mari kita binasakan musuh kita!
Menurut para bijaksana, kemuliaan adalah tujuan keutamaan. Maka marilah kita berusaha mencapainya. Tak sepantasnya Kakak hidup sehina ini. Bangunlah. Penuhilah kewajiban ksatria, menjalankan tugas secara jantan itu kemuliaan kita. Tanpa disertai kekerasan hati, kemauan hanya angan-angan yang lekas sirna. Orang kaya yang akan menambah kekayaannya harus mengeluarkan sebagian kekayaannya. Panen yang dipungut setiap orang seharusnya lebih banyak daripada biji yang telah ditanamnya. Ayolah, Kakak, jangan berkecil hati dan ragu akan hasil perjuangan kita. Ingatlah kepada para leluhur yang senantiasa melindungi negeri dan rakyat kita. Itu jugalah kemuliaan kita!
Kemuliaan ksatria tak dapat dicapai hanya dengan bertapa, tetapi juga melalui perang yang berpedoman pada keutamaan. Ayolah naik kereta perang dan minta kepada para brahmana supaya perjuangan kita berhasil! Marilah hari ini juga kita menggempur Hastinapura! Aku akan mengikuti dan memanggul senjata dengan gembira jika Kakak bersedia merebut kembali hak kita!”
Yudistira menjawab: “Bima, perkataanmu itu semuanya benar. Saudara-saudara menderita karena kelalaianku. Orang yang memiliki kesetiaan sepertiku akhirnya sengsara. Tapi aku tidak dapat memungkiri janjiku, apalagi janji yang disaksikan oleh orang baik-baik. Janji itu harus kutepati. Bagiku lebih baik mati daripada meraih semua kemuliaan dunia dengan jalan ingkar janji.
Adikku, ketika aku bermain judi, engkau sangat marah sehingga hendak membakar tanganku yang telah menyengsarakan kalian semua. Syukurlah Arjuna dapat mencegah kemarahanmu. Sebagai ganti, engkau meremas-remas tanganmu sendiri. Jika engkau benar-benar percaya kepada kekuatanmu sendiri, mengapa engkau tidak mencegah aku mengadakan perjanjian? Sekarang Pandawa telah terlanjur menderita. Apakah gunanya engkau memarahi aku?
Rusak binasa hatiku ketika melihat Drupadi dipermalukan Kurawa. Hatiku seperti terbakar. Namun karena aku telah berjanji di depan Kurawa, aku tak dapat mengingkari janji itu.
Bersabarlah, Adikku. Kita akan mendapat kembali kebahagiaan dan kehormatan itu pada saatnya nanti. Marilah kita menunggu saat memetik buah keutamaan janji kita sebagai ksatria utama. Bagiku, keutamaan lebih berharga daripada jiwaku dan segala kehormatan dunia.”
Bima tak menyerah dan terus berusaha membujuk Yudistira: “Kakak, mengapa Kakak tak memiliki kekerasan hati dan hanya pasrah kepada waktu? Adakah kesengsaraan yang lebih dahsyat daripada yang kita derita saat ini? Kakak takut mengingkari janji, tapi Kakak lupa, bahwa janji itu dipaksakan musuh melalui tipu muslihat mereka. Kakak tidak tegar hati. Padahal Kakak dilahirkan untuk membimbing kami semua, adik-adikmu, untuk menjadi ksatria utama! Manusia diwajibkan menunjukkan kemarahannya, jika perlu. Kakak punya pikiran, punya kekuatan, punya pengetahuan, dan lebih dari itu keturunan ksatria utama. Mengapa Kakak tak berlaku sebagai ksatria, yang menjadikan keangkaramurkaan sebagai musuh abadi? Mengapa kita harus terus bersembunyi ketika dunia membutuhkan kita? Kakak telah tersohor di mata dunia sebagai penakluk banyak negeri. Sudah tentu para raja di negeri-negeri itu membenci kita. Sudah tentu pula mereka selalu mencari kita dan melaporkan keberadaan kita kepada musuh kita. Jika demikian, kita akan selalu harus mengulangi hukuman karena jejak kita selalu diketahui musuh kita. Jika kita selalu bersembunyi, tetapi selalu ketahuan, apakah gunanya kita menepati janji? Maka marilah memperteguh cita-cita membasmi angkara murka. Pekerjaan utama seorang ksatria adalah menegakkan keadilan.”
Yudistira menjawab: “Adikku Bima, segala sesuatu yang dilakukan dalam amarah, tak dipikirkan lebih dulu, akan menjadi sumber kerusakan seperti yang terjadi pada diri kita sekarang ini. Akan tetapi jika dipikirkan masak-masak terlebih dulu, niscara hasilnya akan lebih memuaskan. Para dewa pun memikirkan terlebih dulu segala tindakan mereka. Ketahuilah olehmu, Adikku, karena hatimu penuh amarah, engkau akan berangkat menggempur musuh sekarang juga. Engkau mengerti bahwa para raja yang kita taklukkan tentu membenci kita. Mereka tentu memihak Kurawa dan ingin membalas dendam kepada Pandawa. Ingatlah pula kesaktian Dussasana, Salya, Jalasanda, Karna dan Aswatama. Duryudana dan yang lain-lainnya pun tak mudah dikalahkan. Belum lagi para panglima dan keluarganya. Apalagi Bima, Druna dan Krepa. Kendati memahami makna keadilan, mereka tentu memihak Kurawa karena mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Mereka itu sakti. Bahkan dewa pun agaknya tak mudah melawan mereka. Mengingat hal itu, aku selalu sulit tidur.” Jawaban Yudistira itu mengacaukan pikiran Bima sehingga tak dapat berkata-kata lagi.

Drupadi tetap setia
Dalam masa persembunyian Pandawa di dalam hutan, ketika mereka sedang berburu dan meninggalkan Dewi Drupadi sendirian, datanglah Jayadrata, raja negeri Sindu yang terpikat pada kecantikannya. Ia membujuk Dewi Drupadi agar mau menjadi permaisurinya: “Sekarang aku telah menyaksikan sendiri keutamaanmu. Engkau tidak pantas menderita begini. Ikutlah denganku agar engkau dapat mengenyam kenikmatan dunia. Engkau tak pantas menjadi permaisuri seorang raja celaka. Yudistira telah kehilangan negerinya, dan bahkan dirinya sendiri!”
Resi Domea, brahmana yang hendak menolong Dewi Drupadi mengecam Jayadrata: “Hai, Raja Jayadrata, janganlah melanggar kesusilaan! Laki-laki tak boleh melarikan istri orang lain jika suaminya belum dikalahkan!”
Namun kecaman itu tak menyurutkan niat Jayadrata. Ia melarikan Dewi Drupadi dengan keretanya.
Sepulang dari berburu, Pandawa segera sadar bahwa Dewi Drupadi telah diculik. Bekas roda kereta Jayadrata memberikan petunjuk yang memudahkan mereka mengejar dan mengalahkan Jayadrata untuk merebut kembali Dewi Drupadi. Yudistira berbelas kasih mengampuni Jayadrata dan mengizinkannya kembali ke negerinya.
Sesudah menyelesaikan masa 12 tahun persembunyian mereka di dalam hutan, Pandawa mengabdi Raja Wirata dalam berbagai samaran. Kincaka, ipar Baginda Wirata jatuh hati kepada Dewi Drupadi dan berusaha merayunya. Tetapi Bima dalam samaran sebagai Balawa berhasil membunuhnya.
Dalam akhir kisah Mahabarata, Dewi Drupadi mengikuti Pandawa membuang diri ke dalam hutan. Di gurun pasir Gunung Himawan, Dewi Drupadi mati. Bima bersedih hati dan melaporkannya kepada Yudistira: “Kakak, lihatlah Dewi Drupadi telah mati dan tak dapat mengikuti Kakak lagi.”
Yudistira berkata: “Adikku Bima, janganlah bersusah hati tentang kematiannya. Drupadi sangat mencintai kita berlima. Namun kita semua tahu bahwa ia paling mencintai Arjuna. Kini ia telah menuai buah perilakunya dan tak dapat mengikuti kita lagi.”
Demikianlah berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna dan Bima pun mati dalam perjalanan terakhir mereka. Tinggallah Yudistira dengan seekor anjing yang sangat setia mendampinginya. Yudistira menolak tawaran para dewata untuk naik ke Nirwana bila anjingnya tak ikut bersamanya.
“Hamba tak dapat meninggalkannya karena ia sangat setia kepada hamba. Ia selalu mengikuti ke mana pun hamba pergi. Jika hamba mengabaikan kesetiaannya, dunia tentu akan mengatakan bahwa budi pekerti hamba sangat rendah.”
Hyang Indra berkata: “Yudistira! Umumnya orang tak menghargai kesetiaan orang lain. Buktinya engkau sendiri tak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu. Jadi, engkau pun tak setia!”
Yudistira menjawab: “Tidaklah tepat bila dikatakan hamba tidak menghargai kesetiaan saudara-saudara hamba. Bukankah mereka telah terlebih dulu mati? Jika mereka masih hidup dan hamba meninggalkan mereka, maka perbuatan itu serupa dengan hamba membunuh istri hamba yang sangat setia atau membunuh brahmana atau tak sudi menolong orang yang meminta perlindungan, merampok harta benda orang suci dan mengkhianati teman. Itulah sebabnya hamba tidak dapat meninggalkan anjing ini. Lebih baik hamba tidak naik ke sorga daripada meninggalkannya.”
Tiba-tiba anjing itu menghilang dan beralih rupa menjadi Hyang Darma yang lalu memeluk Yudistira sambil berkata: “Anakku Yudistira, telah dua kali aku menguji keutamaanmu. Pertama ketika engkau berada di hutan dan semua saudaramu mati. Engkau tidak meminta supaya Bima dan Arjuna dihidupkan lagi, tetapi justru meminta Nakula hidup demi kepentingan Dewi Madrim, ibunya. Kedua kali adalah sekarang. Engkau sangat menghargai kesetiaan anjing, sehingga tak mau naik ke sorga jika tidak bersama-sama dengan anjing yang setia kepadamu. Karena keutamaanmu, marilah naik ke sorga beserta jasadmu.”
Akhirnya, berkat keutamaan Yudistira pula, saudara-saudaranya dan Dewi Drupadi pun dapat naik ke sorga bersamanya.

http://kisahspiritualtaklekangzaman.files.wordpress.com/2013/08/draupadi-dipermalukan-korawa-sumber-mysticme13-blogspot-com.png?w=450

Draupadi dipermalukan Korawa akibat Yudistira kalah main dadu sumber mysticme13 blogspot com
Draupadi istri Pandawa
Draupadi sering disebut Yajnaseni, yang lahir lewat ritual Yajna, juga dikenal sebagai Mahabharati, istri dari 5 keturunan Bharata, dan pernah dipanggil sebagai Sairandhri, perawan penata rambut permaisuri Raja Virata, kala bersama-sama Pandawa menyamar sebagai pelayan istana. Draupadi yang cantik jelita adalah Permaisuri Maharaja Yudistira dan istri daripada 5 Pandawa serta mempunyai 5 putra dari masing-masing Pandawa: Prativindhya, Sutasoma, Srutakirti, Satanika, dan Srutakarma.
Drona yang dendam pada Raja Draupada mengerahkan murid-muridnya untuk mengalahkan Draupada dan kemudian menghina Draupada dengan mengambil separuh wilayah kerajaannya. Raja Draupada yang merasa terhina, melakukan ritual yajna untuk memperoleh putra yang dapat membunuh Drona. Dewi Kali mengabulkannya dan lahirlah Dhristayumna dan Draupadi.
Raja Draupada memperbolehkan Draupadi ikut belajar pada Guru yang mengajar Dhristayumna. Draupadi menjadi seorang wanita yang maju pada zamannya, berani berterus terang dan ahli politik. Selain itu Draupadi adalah tipe wanita yang setia dan cerdas. Draupadi nampak manusiawi dengan karakternya yang jujur apa adanya, seperti marah, cinta, benci, bahagia dan sedih.
Sayembara Untuk Memperoleh Suami Draupadi
Raja Draupada mengadakan sayembara untuk memperoleh suami bagi Draupadi dengan cara melepaskan 5 anak panah pada target yang berputar dan hanya boleh melihat target dari cermin. Arjuna memenangkan sayembara dan Draupadi dibawa Pandawa kepada Kunti yang berada di hutan. Yudistira berteriak kepada ibunya bahwa mereka membawa hadiah dan Kunti menjawab agar dibagi yang adil. Kunti kaget setelah tahu bahwa hadiahnya adalah Draupadi, akan tetapi Sri Krishna yang kemudian datang menyampaikan bahwa Draupadi memang dilahirkan untuk menjadi istri 5 bersaudara Pandawa. Pandawa semakin kuat apabila Draupadi menjadi istri pemersatu. Draupadi yang cerdas patuh terhadap Kunti dan terutama Sri Krishna yang sangat dimuliakannya.
Sri Krishna menyampaikan bahwa pada kehidupan sebelumnya, Draupadi dilahirkan sebagai Nalayani yang selalu berdoa kepada Shiva agar diberikan suami dengan 14 kualitas utama. Shiva mengatakan sulit diperoleh pada kehidupan saat ini, akan tetapi pada kehidupan berikutnya akan memperoleh 5 suami dengan 14 kualitas utama tersebut. Nalayani kaget dan bertanya, apakah ini anugerah atau kutukan baginya? Shiva menjawab bahwa ini adalah anugerah bagi dharma kebenaran. Nalayani tidak perlu kuatir, dia akan memperoleh kembali keperawanannya setiap tahun.
“Yang namanya kebetulan itu memang tidak ada. Pertemuan kita, perpisahan kita, semuanya merupakan bagian dari cetak-biru yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun, kita dapat menentukan cetak-biru baru untuk masa depan kita. Hal ini perlu direnungkan sejenak. Yang namanya takdir itu apa? Memang yang tengah kita alami sekarang ini merupakan takdir kita, sudah ditentukan oleh masa lalu kita. Tetapi yang menentukannya siapa? Kita, kita juga. Apa yang kita buat pada masa lalu menentukan masa kini kita. Nah, Sekarang, apa yang kita buat sekarang, dapat menentukan masa depan kita. Takdir sepenuhnya berada di tangan Anda. Bagi mereka yang mengetahui mekanisme alam ini, hidup menjadi sangat indah. Ia tidak akan menangisi takdirnya. Ia tahu persis bahwa ia pula yang menentukan takdirnya sendiri. Ini yang disebut Hukum Karma, Hukum Sebab Akibat. Karma berarti tindakan, karya. Karma bukan berarti tindakan baik, ataupun tindakan buruk, sebagaimana anda tafsirkan selama ini. Anda yang menderita, anda katakan itu Hukum Karma. Hubungan-hubungan Anda pada masa lalu, menghubungkan Anda kembali dengan mereka yang menjadi kawan Anda, keluarga Anda pada masa kini.” (Krishna, Anand. (1998). Reinkarnasi, Melampaui Kelahiran Dan Kematian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Menjadi Alat Hyang Maha Kuasa
Draupada juga menerima putrinya menjadi istri Pandawa, karena Sri Krishna berkata bahwa musuh utamanya Drona tidak bisa dikalahkan oleh Dhristayumna sendirian, dia harus dibantu Pandawa yang merupakan suami dari Draupadi.  Draupadi menjadi istri masing-masing Pandawa setiap tahun dan mempunyai 5 putra dari 5 Pandawa yang mempunyai wujud mirip ayah mereka masing-masing.
Draupadi sadar bahwa dia sebenarnya hanya alat Hyang Maha Kuasa, untuk mempersatukan Pandawa, alat untuk membalaskan dendam ayahandanya serta alat untuk menegakkan dharma.
Bhagavad Gita 2: 27-28: “Ia yang lahir harus mati, ia yang mati harus lahir. Jangan gelisah, karena hukum ini memang tak terelakkan. Makhluk-makhluk yang kau lihat ini, wahai Arjuna, pada awal mulanya Tak-Nyata, pada masa pertengahannya terasa Nyata dan pada akhirnya menjadi Tak-Nyata lagi. Lantas apa gunanya kamu bersedih hati? Yang diketahui manusia hanya antara lahir dan mati saja. Kita ini sebenarnya hanya alatNya, yang dikirimkan untuk melakukan tugas-tugasNya, jadi kita seharusnya berbhakti sesuai dengan kehendakNya.” (Krishna, Anand. (2002). Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Bhakta Sri Krishna
Draupadi adalah devoti Sri Krishna. Dia selalu menembangkan Nama Krishna untuk melembutkan jiwanya. Pada suatu hari Krishna teriris jari tangannya dan Draupadi langsung menyobek kain sarinya untuk membalut luka Krishna. Draupadi penuh kasih terhadap Krishna tanpa mengharapkan apa pun juga. Krishna berkata bahwa bila Draupadi berdoa kepadanya, dia akan datang membantu.
Bhagavad Gita 7: 16-18: “Ada empat kelompok manusia yang berpaling pada ‘Aku’: mereka yang dalam keadaan duka, mereka yang ingin memperoleh pengetahuan tentang ‘Aku’, mereka yang sedang mengejar harta dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya, dan mereka yang bijak. Di antara mereka, yang unggul adalah ia yang bijak – yang berpaling pada ‘Aku’ hanya karena cinta dan kesadaran, tanpa harapan ataupun keinginan yang lain. Dengan berpaling pada ‘Aku’, sebenarnya mereka semua sudah melakukan yang terbaik, namun di antara mereka, ia yang mengasihi ‘Aku’ hanya karena kasih itu sendiri, sesungguhnya sangat bijak.” (Krishna, Anand. (2002). Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Dalam pengembaraan di hutan, pernah Pandawa kehabisan beras, padahal Pandawa akan kedatangan tamu Resi Durvasa beserta murid-muridnya. Resi Durvasa terkenal kesaktian dan sifatnya yang temperamental, sehingga apabila sang resi tidak berkenan dia sering mengutuk. Draupadi dalam kebingungan berdoa pada Sri Krishna, dan Sri Krishna datang. Draupadi berkata bahwa yang tersisa hanya satu butir beras ketan sedangkan dia harus menjamu Resi Durvasa dan para muridnya. Sri Krishna makan separuh butir dan berkata bahwa separuhnya diperuntukkan bagi dunia. Ketika Resi Durvasa dan murid-muridnya datang bertamu mereka semua telah merasa kenyang dan tidak ingin makan. Dan masalah Draupadi dan Pandawa terselesaikan.

Dihina para Korawa
Yudhistira yang gemar bermain dadu terpedaya oleh permainan Shakuni dan kalah bertaruh. Seluruh Pandawa telah dipertaruhkan dalam permainan dadu dan kalah sehingga mereka telah menjadi budak Korawa. Akhirnya Draupadi pun dijadikan taruhan dan kembali Yudhistira kembali kalah. Sebagai budak Korawa, Pandawa diminta melepaskan baju dan hanya memakai pakaian dalam, dan selanjutnya Dursasana juga berupaya menarik kain sari Draupadi.
Draupadi dengan lantang berkata, “Jika kalian menghormati ibu kalian, saudara-saudara perempuan kalian dan putri-putri kalian, maka jangan perlakukan aku seperti ini!” Tetapi para Korawa tidak mempedulikannya. Mereka mengatakan bahwa pakaian yang dikenakan Pandawa dan Draupadi pun sudah menjadi milik Korawa. Dursasana pun segera menarik kain sari Draupadi. Draupadi merasa sudah tak ada gunanya minta tolong kepada para suaminya yang telah menjadi budak. Dia minta tolong pada Resi Bhisma yang juga hanya diam seribu basa. Akhirnya dia memohon pada Sri Krishna. Dan, keajaiban pun terjadi kain sari Draupadi yang ditarik oleh Dursasana selalu digantikan dengan yang baru sehingga Dursasana kewalahan.
“Aku memenuhi keinginan setiap orang yang mengucapkan nama-Ku dengan tulus, dan meningkatkan kesadaran Kasih di dalam dirinya. Siapa pun yang mengagungkan kisah kehidupan-Ku dan ajaran-Ku, akan kulindungi dari segala macam mara bahaya.” (Das, Sai. (2010). Shri Sai Sacharita. Anand Krishna Global Co-Operation Indonesia)
Dhristarastra diberitahu Gendari perihal peristiwa Draupadi dan segera menghentikan perbuatan Dursasana. Takut Korawa dikutuk oleh Draupadi, Dhristarastra memberikan anugerah 2 hal kepada Draupadi. Draupadi minta Pandawa dibebaskan  dan demikian juga senjata mereka. Akhirnya Pandawa diasingkan dan harus mengembara selama 13 tahun. Draupadi dengan setia mengikuti Pandawa mengembara. Peristiwa Draupadi dihina para Korawa sangat membekas di hati Pandawa, dan ini merupakan benih peperangan Bharatayudha.

 




Sumber:
1) M. Saleh (1992). Mahabarata. Jakarta: PN Balai Pustaka; 2) P.J. Zoetmoelder (1983). Kalangwan. Jakarta: Penerbit Djambatan; 3) http://id.wikipedia.org/wiki/Dropadi; 4) http://id.wikipedia.org/wiki/Drupadi_%28film%29