Baginda Drupada, Raja Pancala, mengadakan
sayembara memanah. Baginda memiliki busur pusaka sakti yang tak
sebarang orang dapat menariknya. Busur itulah yang harus digunakan
setiap peserta sayembara memanah yang diselenggarakannya untuk
mendapatkan calon menantu. Barangsiapa dapat menariknya berpeluang
menjadi jodoh yang akan dipilih sendiri oleh Dewi Drupadi, putrinya.
Banyak raja dan ksatria mengikuti sayembara itu, termasuk para Kurawa
dan Adipati Karna. Pandawa pun, dalam samaran sebagai brahmana, berbaur
dengan para hadirin.
Para peserta dan penonton sebelumnya
dijamu oleh Raja Drupada. Dewi Drupadi juga menghadiri perjamuan itu
dengan karangan bunga yang akan dikalungkannya di leher pemenang yang
nanti dipilihnya sebagai calon suami. Setelah perjamuan selesai,
berkumpullah semua orang di tempat sayembara. Satu persatu peserta
mencoba menarik busur itu, tetapi tak seorang pun berhasil.
Ketika sampai gilirannya, Adipati Karna
segera maju. Baru saja ia mengangkat busur, terdengar teriakan Dewi
Drupadi: “Aku tidak mau menikahi anak kusir kereta!”
Adipati Karna sangat malu. Diletakkannya kembali busur itu dan ia pun mengundurkan diri.
Hingga semua raja dan kastria mendapatkan
giliran, tak seorang pun berhasil menarik busur itu. Arjuna pun tampil
diiringi pandangan mata para raja dan ksatria yang tidak menyukai
keikutsertaan seorang brahmana dalam sayembara itu. Namun Arjuna tidak
menghiraukan mereka. Ia mengambil busur itu, menariknya dengan mudah dan
mulai membidik sasaran yang ditentukan. Tak lama kemudian terdengarlah
gemuruh sorak sorai. Anak panah bidikan Arjuna tepat mengenai sasaran.
Hadirin pun terpesona oleh kesaktian Arjuna.
Dewi Drupadi sangat girang setelah
mengetahui pemenang sayembara ayahandanya adalah seorang brahmana muda
yang tampan. Ia segera berlari mendekati Arjuna dan mengalungkan
karangan bunga ke leher sang pemenang, kemudian menariknya pergi dari
tempat sayembara itu. Menyaksikan hal itu, Raja Drupada yang
sesungguhnya tak ingin bermenantukan seorang brahmana pun senang karena
pemenang sayembaranya itu seorang pemuda tampan yang sakti mandraguna.
Namun para raja dan ksatria yang kalah mencemooh dan kemudian bahkan
mengamuk. Maka Pandawa segera menghalau dan menundukkan para pengacau.
Kemudian Pandawa memboyong Dewi Drupadi untuk menghadap Dewi Kunti.
Setelah semua berkumpul di hadapan Dewi
Kunti, Yudistira, sulung Pandawa, melapor: “Ibunda, karena doa Ibunda,
sayembara yang diadakan Raja Drupada telah dimenangi oleh Adinda Arjuna.
Turut menghadap Ibunda saat ini adalah Dewi Drupadi, putri beliau. Sang
Begawan Wyasa pernah mengatakan bahwa Dewi Drupadi akan bersuamikan
lima orang sebagai anugerah dewa.“
Singkat cerita, Dewi Kunti pun akhirnya setuju para putranya menjadi suami Dewi Drupadi sekaligus.
Sang Kresna, raja bangsa Yudawa dan
Baladewa kakaknya terlambat datang ke tempat sayembara. Setelah
mengetahui bahwa sayembara telah berakhir dan pemenangnya adalah Arjuna
yang menyamar brahmana, mereka pun menemui Pandawa. Sang Kresna
mengatakan bahwa ia adalah saudara para Pandawa. Drestadyumna, kakak
Dewi Drupadi juga datang ke tempat itu dan mengintip dari luar untuk
mengetahui siapa sesungguhnya brahmana pemenang sayembara yang diadakan
ayahandanya.
Setelah mengetahui bahwa brahmana itu
adalah Arjuna, Drestadyumna bergegas pulang dan melapor kepada Raja
Drupada. Baginda sangat girang mendengar keterangan Drestadyumna. Jauh
di dalam hatinya ia memang berharap akan dapat menjadikan Arjuna,
ksatria penengah Pandawa yang sangat terkenal itu, sebagai menantunya.
Esok harinya, Pandawa dipanggil oleh
Baginda Drupada. Ia menyatakan kegembiraannya karena pemenang
sayembaranya adalah Arjuna. Namun Arjuna mengatakan bahwa Dewi Drupadi
sesungguhnya bukan hanya akan menjadi istrinya, melainkan istri Pandawa
Lima sebagaimana telah dinyatakan oleh Begawan Wyasa. Dalam lima masa
hidupnya yang lalu, Dewi Drupadi selalu memohon anugerah dewa agar
bersuamikan ksatria utama. Ketekunannya telah menghasilkan anugerah
istimewa yang sudah pasti mengejutkan Raja Drupada pula. Sungguh tak
terduga bahwa putrinya akan menjadi istri kelima ksatria itu. Belum
pernah terjadi seorang perempuan bersuamikan lima orang dalam saat yang
sama. Pada umumnya, lelakilah yang beristri lebih dari seorang. Ia tak
dapat menyetujuinya.
Ketika mereka sedang membicarakan hal
itu, tiba-tiba datanglah Begawan Wyasa. Beliau menerangkan asal usul
Dewi Drupadi harus bersuami lima orang sekaligus. Setelah mendengarkan
keterangan itu, Raja Drupada pun pada akhirnya menyetujui putrinya
bersuamikan Pandawa Lima. Turut hadir pula Hyang Narada yang juga
memberikan keterangan serupa kepada Raja Drupada.
“Yang penting, keinginanku bermenantukan
Arjuna sudah tercapai,” kata hati Raja Drupada yang segera memerintahkan
penyelenggaraan pesta besar untuk merayakan perkawinan putrinya dengan
Pandawa Lima.
Pandawa Lima yang beristrikan Dewi
Drupadi mengadakan perjanjian untuk menghindarkan terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa mereka
harus bergantian mendekati Dewi Drupadi, mulai dari Yudistira sebagai
sulung Pandawa Lima, kemudian Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Yang
melihat saudaranya sedang berduaan dengan Dewi Drupadi harus
mengasingkan diri ke dalam hutan selama 10 tahun. Perjanjian itu
disaksikan oleh Hyang Narada dan Begawan Wyasa.
Dari setiap Pandawa, Dewi Drupadi
mendapatkan masing-masing seorang putra, berturut-turut: Srutakarma,
Srutasena, Pratiwindya, Satanika dan Prasani.
Pertaruhan Drupadi
Patih Hastinapura, Arya Sakuni menasihati
Prabu Duryudana yang hendak membalas dendam karena merasa telah
dipermalukan ketika ia berkunjung ke Indraprasta, istana para Pandawa
yang jauh lebih indah daripada istana Hastinapura. Arya Sakuni
meyakinkan Duryudana bahwa Kurawa takkan mampu mengalahkan Pandawa jika
Duryudana memilih perang sebagai jalan pembalasan dendamnya. Kemudian
disepakatilah bahwa Kurawa akan menantang Pandawa berjudi.
Semula Sang Drestaratya, ayah para
Kurawa, tidak setuju. Namun karena kelemahan hatinya, pada akhirnya ia
mengutus Arya Widura untuk mengundang Yudistira dan para saudaranya
datang ke Hastinapura untuk berjudi dengan Duryudana dan para
saudaranya. Meskipun semula dicegah oleh adik-adiknya, demi menghormati
undangan itu Yudistira pun memutuskan hadir ke Hastinapura untuk bermain
dadu bersama para Kurawa. Yudistira selalu kalah. Seluruh harta yang
dipertaruhkannya menjadi hak Kurawa. Karena kekalahannya itu, bahkan
dirinya sendiri dan para saudaranya pun kemudian harus rela menjadi abdi
Kurawa.
Arya Sakuni yang sangat licik mengetahui
bahwa Duryudana menyimpan dendam kepada Pandawa karena ia tak dapat
menyunting Dewi Drupadi saat ikut berlomba di Pancala. Sekarang Dewi
Drupadi, perempuan yang kecantikannya tiada tara itu adalah istri kinasih
Yudistira dan adik-adiknya. Inilah kesempatan emas bagi Duryudana untuk
membalaskan dendamnya. Maka Yudistira pun ditantang untuk berani
mempertaruhkan Dewi Drupadi dalam permainan dadu mereka.
Kekalahan membutakan mata dan hati
Yudistira. Akhirnya ia setuju menjadikan Dewi Drupadi sebagai taruhan.
Dan sekali lagi, ia kalah.
Duryudana sangat girang. Segera
diperintahnya Arya Widura memanggil Dewi Drupadi ke arena perjudian.
Nasihat Arya Widura yang mempertanyakan hak Yudistira mempertaruhkan
Dewi Drupadi membuat Duryudana murka. Disuruhnya Dussasana adiknya untuk
memanggil Dewi Drupadi. Bila Dewi Drupadi menolak, Dussasana
diperintahkan untuk membawanya dengan cara kekerasan.
Alangkah girang Dussasana mendapatkan
perintah itu. Ia segera merenggut rambut Dewi Drupadi dan menyeretnya ke
arena. Yudistira memperingatkan agar Kurawa tidak bertindak
sewenang-wenang terhadap perempuan. Namun peringatannya tak terdengar
oleh Kurawa yang sedang mabuk kemenangan. Mereka terus mempermalukan
Dewi Drupadi.
Bima yang tak dapat menahan kemarahannya
hendak membakar tangan Yudistira karena kakaknya itu telah
menyengsarakan hidupnya sendiri, adik-adiknya, rakyatnya dan kini istri
mereka pula. Namun Arjuna dapat mencegahnya.
Adipati Karna membakar semangat para
Kurawa dengan menyatakan bahwa semua yang dipertaruhkan Yudistira telah
menjadi hak milik Kurawa. Pakaian yang dikenakan para Pandawa pun adalah
milik Kurawa. Mereka harus menanggalkannya sekarang juga. Para Pandawa
segera menanggalkan pakaian mereka hingga tertinggal penutup kemaluan
saja. Dussasana menarik kain Dewi Drupadi. Namun ajaib, berkat
pertolongan Hyang Wisnu, Dewi Drupadi tak sampai telanjang. Setiap kali
pakaiannya ditarik Dussasana, selalu ada kain pengganti penutup
tubuhnya.
Bima menggeram marah dan berkata: “Aku
tak mau berkumpul dengan leluhurku sebelum dapat merobek-robek dada
Dussasana dan minum darahnya!” Demikian pula Dewi Drupadi bersumpah
takkan berkumpul dengan keturunan Kuru sebelum berkeramas dengan darah
Dussasana.
Semua yang mendengar sumpah itu merasa
takut. Namun Duryudana masih sempat melanjutkan penghinaannya dengan
menyingkap kainnya dan menyinggungkan paha kirinya ke punggung Dewi
Drupadi. Melihat kelakuannya itu, Bima yang sangat marah berujar: “Aku
takkan berkumpul dengan leluhurku sebelum dapat menghancurkan paha kiri
Duryudana dengan gadaku!” Sumpah Bima itu seolah disambut auman serigala
dan tanda-tanda alam lain yang sangat mencekam.
Dewi Drupadi memohon kepada Sang
Drestaratya agar menolongnya. Akhirnya Destraratya mengabulkan
permohonan Dewi Drupadi. Yudistira dan saudara-saudaranya dibebaskan.
Semua kekayaan Indraprasta dan hak yang dipertaruhkan dalam permainan
dadu itu dikembalikan kepada Pandawa.
Pembebasan itu diejek oleh Adipati Karna
yang melambangkan Dewi Drupadi sebagai perahu yang ditumpangi Pandawa.
Kendati sangat marah, Pandawa menerima penghinaan itu dan sambil
mengucapkan terima kasih kepada Drestaratya, mereka pun pulang ke
Indraprasta.
Drupadi yang setia
Pengalaman kalah berjudi itu ternyata tak
membuat Yudistira jera. Beberapa saat kemudian, ia menerima tantangan
Duryudana untuk bermain dadu lagi. Taruhannya bukan harta. Yang kalah
wajib mengasingkan diri selama 12 tahun di dalam hutan. Kemudian, pada
tahun ketigabelas harus bersembunyi dalam samaran di sebuah negeri
asing. Pada tahun keempatbelas barulah boleh pulang ke negeri sendiri.
Namun, apabila dalam persembunyian itu mereka dapat ditemukan oleh
pemenang, mereka yang kalah harus mengulangi pengasingan diri mereka
sejak awal.
Dewi Gendari, istri Sang Drestaratya
meminta agar suaminya tidak mengizinkan putra-putra mereka melaksanakan
niat jahat itu. Tetapi permintaannya tidak dihiraukan. Izin sudah
diberikan. Drestaratya tak ingin Kurawa selalu menjadi pecundang. Dan ia
sadar Kurawa takkan dapat mengalahkan Pandawa dalam perkelahian yang
jujur. Permainan dadu sudah terbukti dapat memberikan pengalaman menjadi
pemenang bagi para putranya. Ia pun tahu bahwa Yudistira dan
adik-adiknya tak pernah mengabaikan tantangan. Para ksatria Pandawa akan
malu bila tak berani menanggapi tantangan.
Terjadilah perulangan kekalahan Yudistira
dalam permainan dadu itu. Ia dan saudara-saudara beserta seluruh
keluarga mereka harus segera berangkat mengasingkan diri diiringi ejekan
Kurawa. Bima mengutuk muslihat Kurawa. Arjuna mengancam akan membunuh
Adipati Karna dalam peperangan besar yang terjadi kelak. Sahadewa
mengancam akan membunuh Sakuni dan Nakula akan membunuh sisa putra Sang
Drestaratya yang masih hidup.
Namun demikian para Pandawa harus
menjalani hidup terasing di dalam hutan sebagai akibat kekalahan
Yudistira. Penderitaan itu mereka terima sebagai keniscayaan yang pada
gilirannya akan meneguhkan kebersamaan mereka sebagai para ksatria.
Para kerabat dan sahabat Pandawa silih
berganti berkunjung dan menghibur. Batara Kresna yang sangat marah
berujar: “Bumi akan menghisap darah Duryudana, Karna, Dussasana dan
Sakuni. Setelah para Kurawa dan sekutu-sekutu mereka hancur lebur, saya
akan menobatkan Yudistira menjadi Raja Hastinapura. Orang jahat
sepantasnya dibasmi dari muka bumi!” Ia sangat menyesal karena sedang
berperang sehingga tidak dapat mendampingi Pandawa saat mereka bermain
dadu di Hastinapura. Jika tak dicegah oleh Arjuna, saat itu juga Batara
Kresna hendak membawa pasukannya untuk menyerbu Hastinapura.
Mendengar kisah Dewi Drupadi yang
mengenaskan, Batara Kresna berkata: “Adinda Dewi, janganlah dikenang
lagi kejadian-kejadian yang lalu karena kenangan buruk itu hanya akan
merusakkan pikiranmu. Manusia takkan luput dari segala akibat
perbuatannya. Demikian pula Duryudana yang telah menyakiti hatimu. Kelak
istrinya akan menangis seperti Adinda sekarang ini karena melihat mayat
suaminya menggeletak di tanah berlumuran darah. Perkataanku ini akan
terbukti. Hentikanlah tangismu. Saya yakin Adinda kelak akan menjadi
permaisuri raja gung binatara lagi. Percayalah!”
Dalam beberapa kesempatan, Dewi Drupadi
mengeluh kepada Yudistira yang telah menyebabkan seluruh keluarganya
menderita. “Kakanda, jika melihat tempat Kakanda tidur dan pakaian
Kakanda dan saudara-saudara semua, hati hamba bagai diiris-iris sembilu.
Padahal Kakanda adalah seorang raja gung binatara. Dulu
Kakanda dan saudara-saudara semua tidur di tempat yang aman dan nyaman,
menikmati aneka makanan yang lezat, berpakaian serba bagus dan bersih.
Tapi lihatlah Kakanda dan saudara-saudara semua sekarang! Kita tidur
terlantar di atas tanah tanpa alas, badan penuh debu. Kakanda tidak lagi
duduk di singgasana dan disembah para raja! Dulu Kakanda dapat menjamu
para pertapa dan menyenangkan hati mereka. Tetapi sekarang Kakanda
sendiri sengsara, harus masuk keluar hutan dengan tak karuan tujuan.
Tidakkah Kakanda kasihan kepada hamba yang mengikuti perjalanan Kakanda
karena sudah jadi kewajiban hamba sebagai istri, sehidup semati dengan
Kakanda? Kapankah Kakanda memperlihatkan keperwiraan dan keberanian
untuk menegakkan keadilan yang merupakan kewajiban setiap orang?
Bukankah Bima memiliki kekuatan yang melebihi sepasukan prajurit?
Lupakah Kakanda akan kecakapan dan kesaktian Arjuna yang dengan kedua
tangannya dapat membunuh ribuan musuh? Tak dapatkah mereka membangunkan
semangat Kakanda untuk menghadapi musuh kita? Arjuna adalah pahlawan
dunia, dihormati oleh para penghuni nirwana. Namun kini ia terpaksa
menahan amarah karena patuh mengikuti kehendak Kakanda. Tidakkah Kakanda
merasa iba kepada Adinda Nakula dan Sahadewa yang masih muda taruna,
terpaksa mengabaikan kecakapan tempur mereka, menderita sengsara dalam
hutan, dan membiarkan orang-orang yang berwatak angkara merajalela?”
Yudistira menjawab: “Adinda, ketahuilah
bahwa ksatria yang tak dapat menahan diri dan suka memperlihatkan
amarahnya akan mendapatkan celaan. Demikian juga orang yang tak mau
mengampuni musuh yang pantas diampuni akan dicela oleh dunia dan
terkutuk pula di akhirat. Orang yang selalu mengampuni musuh takkan
mendapatkan kehormatan. Namun, orang yang sentosa budinya akan dapat
menjalankan keadilan. Kakanda tahu sudah menjadi kewajiban Kakanda untuk
tidak mengampuni musuh yang selalu ingin membinasakan kita semua.
Sebenarnya keperwiraan Kakanda dan para adinda akan dapat menghancurkan
musuh kita. Tetapi amarah itu merusak dan jadi sumber kesengsaraan.
Orang yang marah tak dapat membedakan perkataan yang pantas dan tidak
pantas diucapkan. Ia tak segan melakukan kekejaman maupun perkataan yang
serba buruk. Akibat marah, orang tak segan menebarkan fitnah. Maka
orang yang bijaksana selalu berusaha menahan amarahnya.
Wahai Adinda yang setia kepada suami,
bagaimanakah Kakanda akan dikuasai amarah apabila Kakanda selalu berdaya
upaya menghilangkan amarah dalam diri Kakanda? Orang yang tidak
memerangi amarah orang lain akan dapat menolong diri sendiri dari
kesengsaraan. Orang yang tak sentosa budinya – jika difitnah orang lain –
seketika juga keluarlah amarahnya dan itu akan menyebabkan apa pun yang
akan dilakukannya menjadi kurang dapat dikendalikannya sendiri. Apakah
Adinda ingin Kakanda merusak diri sendiri?
Adinda, ketahuilah, orang yang lemah
harus dapat menahan amarah. Orang yang punya belas kasihan lebih baik
daripada orang yang berwatak jahil. Oleh karena itu Kakanda tidak ingin
mengikuti amarah yang jadi sumber kesengsaraan. Kemarahan orang yang
baik tidak meresap di hati. Yang waskita dan yang sentosa budinya ialah
orang yang dapat menahan amarah. Orang yang marah tidak dapat memilih
dengan tepat. Orang yang demikian umumnya tak suka menghormati orang
lain. Malah jika didorong oleh kemarahannya, ia suka membunuh orang yang
sebenarnya tak pantas dibunuh. Orang yang dikuasai oleh amarahnya tidak
mudah mendapat kemuliaan dan keutamaan. Orang yang dapat menahan nafsu
dapat mempergunakan kekuatannya dengan tepat.
Jika di dunia ini tak ada yang suka
mengampuni, dunia takkan tenteram, selalu ada keributan yang bersumber
pada hawa nafsu. Fitnah dibalas fitnah, anak polah bapak kepradah, saling membalas. Rusaklah dunia ini!
Adinda Drupadi, walaupun Kakanda akan
membalas perbuatan Duryudana dan para saudaranya, Kakanda tidak mau
melakukannya karena terdorong oleh amarah semata. Kakanda akan berusaha
berlaku sejujur-jujurnya.”
Dewi Drupadi menjawab: “Kakanda, menurut
pikiran hamba, dunia ini kurang adil. Bahagia tak dapat dicapai dengan
menjalankan keutamaan, budi pekerti, suka mengampuni, suci hati dan
tidak melanggar larangan. Buktinya Kakanda sendiri yang selalu
menjalankan keutamaan tak juga mendapatkan kebahagiaan. Begitu pula
saudara-saudara Kakanda! Sejak dulu hingga sekarang, Kakanda menganggap
keutamaan lebih berharga daripada derajat duniawi. Kakanda menjadi raja
gung binatara dengan maksud melindungi keutamaan yang buahnya akan
melindungi Kakanda. Namun buktinya tidak demikian. Kakanda dan
saudara-saudara Kakanda sekarang menderita sengsara.
Di lain pihak, karena terdorong oleh hawa
nafsu, Kakanda telah melakukan tindakan yang tak terlebih dulu matang
dipikirkan akibatnya. Kakanda kalah dalam permainan dadu sehingga
menyengsarakan dan menghilangkan keutamaan kita semua. Saat itu hati
hamba remuk redam.
Rupanya di dunia ini tak ada keadilan.
Buktinya orang yang luhur budi pekertinya, suci bersih hatinya, justru
mendapatkan hukuman. Sedangkan orang yang jahat malah mendapat
kebahagiaan. Duryudana yang jahat bahagia, sebaliknya Kakanda yang
selalu menjalankan keutamaan harus sengsara seperti ini. Jika memikirkan
hal itu, hamba tak dapat mengatakan bahwa Hyang Widi adil.”
Yudistira berkata: “Adinda Drupadi!
Janganlah kehilangan kepercayaanmu kepada Hyang Widi! Kakanda tidak
mengharapkan hasil jerih payah Kakanda. Darma selalu Kakanda lakukan
sebagai kewajiban setiap insan. Kakanda gemar melakukan keutamaan.
Tetapi, orang yang mengharapkan buah keutamaan sesungguhnya meninggalkan
keutamaan. Orang yang kurang tinggi budinya selalu bimbang dalam
menjalankan kebajikan. Maka ia takkan dapat memetik hasil kebajikannya
karena kurang percaya. Karena itu, janganlah bimbang dalam berbuat
kebajikan. Siapa yang tidak percaya kepada agama, kepada keutamaan dan
kepada ajaran suci, takkan mendapat tempat dalam kemuliaan abadi. Sang
Wyasa, Sang Wasista, Sang Narada dan lain-lain bisa mencapai kemuliaan
jiwa tak lain karena mereka telah menjalankan keutamaan.
Orang yang picik pengetahuan mengira
bahwa benda kasat mata sajalah yang dapat mendatangkan kesenangan. Oleh
karena itu, jika ia mengerjakan keutamaan, hatinya selalu bimbang. Orang
yang demikian tidak akan diampuni dosanya. Selama hidup ia akan
terlibat dalam kesusahan. Kelak pun ia takkan mendapat tempat yang
menyenangkan di alam baka. Orang yang tak berlindung pada keutamaan akan
menjelma kembali menjadi binatang.
Adinda Dewi, jika keutamaan tak
menghasilkan buah berlimpah bagi kesentosaan budi, tak seorang pun sudi
mengejar keutamaan. Jika demikian, dunia ini akan diliputi kejahatan dan
hidup manusia tak ubahnya seperti binatang. Hasil keutamaan tak hanya
bisa dipetik di dunia, melainkan juga di akhirat. Maka hilangkanlah
kebimbanganmu dan teguhkan kepercayaanmu pada Hyang Widi. Janganlah
mencela-Nya lagi.”
Dewi Drupadi menjawab: “Kakanda, hamba
sama sekali tidak mencela dan menyalahkan Hyang Widi. Barangkali,
kesengsaraan ini telah menggelapkan hati hamba. Tetapi, segala makhluk
yang dapat bergerak semestinya bekerja. Manusia itu ditakdirkan
berbeda-beda dan masing-masing wajib mengisi hidupnya dengan kerja.
Orang yang tidak mau bekerja takkan mendapat kemajuan apa pun. Begitu
pula hendaknya Kakanda bekerja supaya tak dicela dunia. Mengapa Kakanda
tak berlaku sebagai layaknya ksatria utama, membela nusa dan bangsa
dengan mengangkat senjata, menggempur musuh yang angkara murka? Jika
tidak ada ksatria yang mau melakukannya, bukankah segala sesuatu yang
ada di dunia ini akan musna oleh keangkaramurkaan? Jika keutamaan
ksatria pun tak menghasilkan apa-apa yang berguna bagi nusa dan
bangsanya, bukankah dunia takkan berkembang menjadi lebih baik daripada
sebelumnya? Menurut hamba, salahlah orang yang hanya menerima takdir
tanpa upaya memperbaiki jalan hidupnya sendiri, seolah-olah takdir,
takdir, dan hanya takdir itulah penentu kehidupannya!
Menurut hamba pula, orang yang percaya
bahwa setiap pekerjaan akan menghasilkan buah dan karena ia telah
mengupayakannya sepenuh daya yang dianugerahkan pula kepadanya, ia
pantas dipuji. Kini Kakanda menderita sengsara. Tapi, jika Kakanda mau
bekerja sebagai layaknya ksatria, kerusakan dan kesengsaraan itu mungkin
akan lenyap atau berkurang. Jika kita telah bekerja dengan
sungguh-sungguh dan ternyata tak ada buahnya juga, barulah kita menyerah
kepada takdir. Karena itu, Kakanda, marilah kita berjuang merebut
kembali negeri kita dari tangan musuh!”
Bima yang sejak tadi menyimak pembicaraan
Dewi Drupadi dengan kakaknya tak sabar menyela: “Kakak, hendaklah Kakak
menempuh jalan yang biasa ditempuh para ksatria. Apakah gunanya kita
menempuh hutan belukar seperti ini? Sudah terbukti, jika kita terus
hidup begini, kita akan semakin kehilangan kebahagiaan, kehormatan dan
kemuliaan. Negeri kita telah direbut Duryudana melalui permainan dadu.
Apakah gunanya Kakak berpegang teguh pada keutamaan yang justru membawa
kita ke jurang kesengsaraan? Karena kelalaian Kakak, Indraprasta
sedemikian mudah dapat direbut musuh. Mereka tak mungkin melakukannya
melalui jalan perang. Kami telah menurutimu menjalankan keutaman
sehingga kehilangan kebahagiaan dan kehormatan. Kini Dewi Drupadi dan
adik-adik menderita sengsara karena semua mematuhimu.
Kakakku, orang yang mau hidup mengembara
dalam hutan seperti binatang adalah orang yang tak memiliki keberanian
hidup di tengah tantangan dunia dan bersama dengan sesama. Orang yang
berani tentu akan merebut kembali hak miliknya yang direbut musuh.
Apakah Kakak sedemikian bingung hingga jadi lemah begini? Sudah
lenyapkah watak ksatria Kakak? Keutamaan Kakak sajakah yang Kakak
pikirkan dan tidak menghiraukan nasib saudara-saudara sendiri?
Drestaratya dan Kurawa tentu mengira kita tidak berani melawan
Duryudana. Mereka tentu mengira kita adalah para ksatria utama yang
selalu mengampuni kesalahan mereka. Benarkah keutamaan itu lebih berarti
daripada mati di medan laga? Kalau aku mati di medan laga tanpa luka,
apakah ajalku itu berharga?
Kakak, kalau Pandawa berani berkurban
jiwa dan raga, berperang merebut kembali negeri kita, niscaya seluruh
dunia akan menghargai kita. Takkan ada yang berani mencela ksatria yang
mengambil kembali haknya. Keutamaan yang menjerumuskan diri dan
teman-teman ke jurang kesengsaraan bukanlah keutamaan sejati. Banyak
orang yang gemar mengejar keutamaan pada akhirnya beku pikirannya. Tak
lagi dapat merasakan girang dan susahnya kehidupan.
Kakak, keduniawiaan tak dapat dicapai
hanya dengan minta-minta, tetapi harus dengan budi pekerti yang berazas
keutamaan. Pekerjaan meminta-minta tak selayaknya dilakukan para
ksatria. Keutamaan ksatria terdapat dalam kekuasaan dan keberanian
meraih dan mempertahankannya sekuat tenaga. Ayolah, Kakak, marilah kita
menjalankan keutamaan ksatria! Mari kita binasakan musuh kita!
Menurut para bijaksana, kemuliaan adalah
tujuan keutamaan. Maka marilah kita berusaha mencapainya. Tak
sepantasnya Kakak hidup sehina ini. Bangunlah. Penuhilah kewajiban
ksatria, menjalankan tugas secara jantan itu kemuliaan kita. Tanpa
disertai kekerasan hati, kemauan hanya angan-angan yang lekas sirna.
Orang kaya yang akan menambah kekayaannya harus mengeluarkan sebagian
kekayaannya. Panen yang dipungut setiap orang seharusnya lebih banyak
daripada biji yang telah ditanamnya. Ayolah, Kakak, jangan berkecil hati
dan ragu akan hasil perjuangan kita. Ingatlah kepada para leluhur yang
senantiasa melindungi negeri dan rakyat kita. Itu jugalah kemuliaan
kita!
Kemuliaan ksatria tak dapat dicapai hanya
dengan bertapa, tetapi juga melalui perang yang berpedoman pada
keutamaan. Ayolah naik kereta perang dan minta kepada para brahmana
supaya perjuangan kita berhasil! Marilah hari ini juga kita menggempur
Hastinapura! Aku akan mengikuti dan memanggul senjata dengan gembira
jika Kakak bersedia merebut kembali hak kita!”
Yudistira menjawab: “Bima, perkataanmu
itu semuanya benar. Saudara-saudara menderita karena kelalaianku. Orang
yang memiliki kesetiaan sepertiku akhirnya sengsara. Tapi aku tidak
dapat memungkiri janjiku, apalagi janji yang disaksikan oleh orang
baik-baik. Janji itu harus kutepati. Bagiku lebih baik mati daripada
meraih semua kemuliaan dunia dengan jalan ingkar janji.
Adikku, ketika aku bermain judi, engkau
sangat marah sehingga hendak membakar tanganku yang telah menyengsarakan
kalian semua. Syukurlah Arjuna dapat mencegah kemarahanmu. Sebagai
ganti, engkau meremas-remas tanganmu sendiri. Jika engkau benar-benar
percaya kepada kekuatanmu sendiri, mengapa engkau tidak mencegah aku
mengadakan perjanjian? Sekarang Pandawa telah terlanjur menderita.
Apakah gunanya engkau memarahi aku?
Rusak binasa hatiku ketika melihat
Drupadi dipermalukan Kurawa. Hatiku seperti terbakar. Namun karena aku
telah berjanji di depan Kurawa, aku tak dapat mengingkari janji itu.
Bersabarlah, Adikku. Kita akan mendapat
kembali kebahagiaan dan kehormatan itu pada saatnya nanti. Marilah kita
menunggu saat memetik buah keutamaan janji kita sebagai ksatria utama.
Bagiku, keutamaan lebih berharga daripada jiwaku dan segala kehormatan
dunia.”
Bima tak menyerah dan terus berusaha
membujuk Yudistira: “Kakak, mengapa Kakak tak memiliki kekerasan hati
dan hanya pasrah kepada waktu? Adakah kesengsaraan yang lebih dahsyat
daripada yang kita derita saat ini? Kakak takut mengingkari janji, tapi
Kakak lupa, bahwa janji itu dipaksakan musuh melalui tipu muslihat
mereka. Kakak tidak tegar hati. Padahal Kakak dilahirkan untuk
membimbing kami semua, adik-adikmu, untuk menjadi ksatria utama! Manusia
diwajibkan menunjukkan kemarahannya, jika perlu. Kakak punya pikiran,
punya kekuatan, punya pengetahuan, dan lebih dari itu keturunan ksatria
utama. Mengapa Kakak tak berlaku sebagai ksatria, yang menjadikan
keangkaramurkaan sebagai musuh abadi? Mengapa kita harus terus
bersembunyi ketika dunia membutuhkan kita? Kakak telah tersohor di mata
dunia sebagai penakluk banyak negeri. Sudah tentu para raja di
negeri-negeri itu membenci kita. Sudah tentu pula mereka selalu mencari
kita dan melaporkan keberadaan kita kepada musuh kita. Jika demikian,
kita akan selalu harus mengulangi hukuman karena jejak kita selalu
diketahui musuh kita. Jika kita selalu bersembunyi, tetapi selalu
ketahuan, apakah gunanya kita menepati janji? Maka marilah memperteguh
cita-cita membasmi angkara murka. Pekerjaan utama seorang ksatria adalah
menegakkan keadilan.”
Yudistira menjawab: “Adikku Bima, segala
sesuatu yang dilakukan dalam amarah, tak dipikirkan lebih dulu, akan
menjadi sumber kerusakan seperti yang terjadi pada diri kita sekarang
ini. Akan tetapi jika dipikirkan masak-masak terlebih dulu, niscara
hasilnya akan lebih memuaskan. Para dewa pun memikirkan terlebih dulu
segala tindakan mereka. Ketahuilah olehmu, Adikku, karena hatimu penuh
amarah, engkau akan berangkat menggempur musuh sekarang juga. Engkau
mengerti bahwa para raja yang kita taklukkan tentu membenci kita. Mereka
tentu memihak Kurawa dan ingin membalas dendam kepada Pandawa. Ingatlah
pula kesaktian Dussasana, Salya, Jalasanda, Karna dan Aswatama.
Duryudana dan yang lain-lainnya pun tak mudah dikalahkan. Belum lagi
para panglima dan keluarganya. Apalagi Bima, Druna dan Krepa. Kendati
memahami makna keadilan, mereka tentu memihak Kurawa karena mengharapkan
kehidupan yang lebih baik. Mereka itu sakti. Bahkan dewa pun agaknya
tak mudah melawan mereka. Mengingat hal itu, aku selalu sulit tidur.”
Jawaban Yudistira itu mengacaukan pikiran Bima sehingga tak dapat
berkata-kata lagi.
Drupadi tetap setia
Dalam masa persembunyian Pandawa di dalam
hutan, ketika mereka sedang berburu dan meninggalkan Dewi Drupadi
sendirian, datanglah Jayadrata, raja negeri Sindu yang terpikat pada
kecantikannya. Ia membujuk Dewi Drupadi agar mau menjadi permaisurinya:
“Sekarang aku telah menyaksikan sendiri keutamaanmu. Engkau tidak pantas
menderita begini. Ikutlah denganku agar engkau dapat mengenyam
kenikmatan dunia. Engkau tak pantas menjadi permaisuri seorang raja
celaka. Yudistira telah kehilangan negerinya, dan bahkan dirinya
sendiri!”
Resi Domea, brahmana yang hendak menolong
Dewi Drupadi mengecam Jayadrata: “Hai, Raja Jayadrata, janganlah
melanggar kesusilaan! Laki-laki tak boleh melarikan istri orang lain
jika suaminya belum dikalahkan!”
Namun kecaman itu tak menyurutkan niat Jayadrata. Ia melarikan Dewi Drupadi dengan keretanya.
Sepulang dari berburu, Pandawa segera
sadar bahwa Dewi Drupadi telah diculik. Bekas roda kereta Jayadrata
memberikan petunjuk yang memudahkan mereka mengejar dan mengalahkan
Jayadrata untuk merebut kembali Dewi Drupadi. Yudistira berbelas kasih
mengampuni Jayadrata dan mengizinkannya kembali ke negerinya.
Sesudah menyelesaikan masa 12 tahun
persembunyian mereka di dalam hutan, Pandawa mengabdi Raja Wirata dalam
berbagai samaran. Kincaka, ipar Baginda Wirata jatuh hati kepada Dewi
Drupadi dan berusaha merayunya. Tetapi Bima dalam samaran sebagai Balawa
berhasil membunuhnya.
Dalam akhir kisah Mahabarata, Dewi
Drupadi mengikuti Pandawa membuang diri ke dalam hutan. Di gurun pasir
Gunung Himawan, Dewi Drupadi mati. Bima bersedih hati dan melaporkannya
kepada Yudistira: “Kakak, lihatlah Dewi Drupadi telah mati dan tak dapat
mengikuti Kakak lagi.”
Yudistira berkata: “Adikku Bima,
janganlah bersusah hati tentang kematiannya. Drupadi sangat mencintai
kita berlima. Namun kita semua tahu bahwa ia paling mencintai Arjuna.
Kini ia telah menuai buah perilakunya dan tak dapat mengikuti kita
lagi.”
Demikianlah berturut-turut Sahadewa,
Nakula, Arjuna dan Bima pun mati dalam perjalanan terakhir mereka.
Tinggallah Yudistira dengan seekor anjing yang sangat setia
mendampinginya. Yudistira menolak tawaran para dewata untuk naik ke
Nirwana bila anjingnya tak ikut bersamanya.
“Hamba tak dapat meninggalkannya karena
ia sangat setia kepada hamba. Ia selalu mengikuti ke mana pun hamba
pergi. Jika hamba mengabaikan kesetiaannya, dunia tentu akan mengatakan
bahwa budi pekerti hamba sangat rendah.”
Hyang Indra berkata: “Yudistira! Umumnya
orang tak menghargai kesetiaan orang lain. Buktinya engkau sendiri tak
menghargai kesetiaan saudara-saudaramu. Jadi, engkau pun tak setia!”
Yudistira menjawab: “Tidaklah tepat bila
dikatakan hamba tidak menghargai kesetiaan saudara-saudara hamba.
Bukankah mereka telah terlebih dulu mati? Jika mereka masih hidup dan
hamba meninggalkan mereka, maka perbuatan itu serupa dengan hamba
membunuh istri hamba yang sangat setia atau membunuh brahmana atau tak
sudi menolong orang yang meminta perlindungan, merampok harta benda
orang suci dan mengkhianati teman. Itulah sebabnya hamba tidak dapat
meninggalkan anjing ini. Lebih baik hamba tidak naik ke sorga daripada
meninggalkannya.”
Tiba-tiba anjing itu menghilang dan
beralih rupa menjadi Hyang Darma yang lalu memeluk Yudistira sambil
berkata: “Anakku Yudistira, telah dua kali aku menguji keutamaanmu.
Pertama ketika engkau berada di hutan dan semua saudaramu mati. Engkau
tidak meminta supaya Bima dan Arjuna dihidupkan lagi, tetapi justru
meminta Nakula hidup demi kepentingan Dewi Madrim, ibunya. Kedua kali
adalah sekarang. Engkau sangat menghargai kesetiaan anjing, sehingga tak
mau naik ke sorga jika tidak bersama-sama dengan anjing yang setia
kepadamu. Karena keutamaanmu, marilah naik ke sorga beserta jasadmu.”
Akhirnya, berkat keutamaan Yudistira pula, saudara-saudaranya dan Dewi Drupadi pun dapat naik ke sorga bersamanya.
Draupadi istri Pandawa
Draupadi sering disebut Yajnaseni, yang lahir lewat ritual Yajna, juga dikenal sebagai Mahabharati, istri dari 5 keturunan Bharata, dan pernah dipanggil sebagai Sairandhri, perawan penata rambut permaisuri Raja Virata, kala bersama-sama Pandawa menyamar sebagai pelayan istana. Draupadi yang cantik jelita adalah Permaisuri Maharaja Yudistira dan istri daripada 5 Pandawa serta mempunyai 5 putra dari masing-masing Pandawa: Prativindhya, Sutasoma, Srutakirti, Satanika, dan Srutakarma.
Drona yang dendam pada Raja Draupada mengerahkan murid-muridnya untuk mengalahkan Draupada dan kemudian menghina Draupada dengan mengambil separuh wilayah kerajaannya. Raja Draupada yang merasa terhina, melakukan ritual yajna untuk memperoleh putra yang dapat membunuh Drona. Dewi Kali mengabulkannya dan lahirlah Dhristayumna dan Draupadi.
Raja Draupada memperbolehkan Draupadi ikut belajar pada Guru yang mengajar Dhristayumna. Draupadi menjadi seorang wanita yang maju pada zamannya, berani berterus terang dan ahli politik. Selain itu Draupadi adalah tipe wanita yang setia dan cerdas. Draupadi nampak manusiawi dengan karakternya yang jujur apa adanya, seperti marah, cinta, benci, bahagia dan sedih.
Sayembara Untuk Memperoleh Suami Draupadi
Raja Draupada mengadakan sayembara untuk memperoleh suami bagi Draupadi dengan cara melepaskan 5 anak panah pada target yang berputar dan hanya boleh melihat target dari cermin. Arjuna memenangkan sayembara dan Draupadi dibawa Pandawa kepada Kunti yang berada di hutan. Yudistira berteriak kepada ibunya bahwa mereka membawa hadiah dan Kunti menjawab agar dibagi yang adil. Kunti kaget setelah tahu bahwa hadiahnya adalah Draupadi, akan tetapi Sri Krishna yang kemudian datang menyampaikan bahwa Draupadi memang dilahirkan untuk menjadi istri 5 bersaudara Pandawa. Pandawa semakin kuat apabila Draupadi menjadi istri pemersatu. Draupadi yang cerdas patuh terhadap Kunti dan terutama Sri Krishna yang sangat dimuliakannya.
Sri Krishna menyampaikan bahwa pada kehidupan sebelumnya, Draupadi dilahirkan sebagai Nalayani yang selalu berdoa kepada Shiva agar diberikan suami dengan 14 kualitas utama. Shiva mengatakan sulit diperoleh pada kehidupan saat ini, akan tetapi pada kehidupan berikutnya akan memperoleh 5 suami dengan 14 kualitas utama tersebut. Nalayani kaget dan bertanya, apakah ini anugerah atau kutukan baginya? Shiva menjawab bahwa ini adalah anugerah bagi dharma kebenaran. Nalayani tidak perlu kuatir, dia akan memperoleh kembali keperawanannya setiap tahun.
“Yang namanya kebetulan itu memang tidak ada. Pertemuan kita, perpisahan kita, semuanya merupakan bagian dari cetak-biru yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun, kita dapat menentukan cetak-biru baru untuk masa depan kita. Hal ini perlu direnungkan sejenak. Yang namanya takdir itu apa? Memang yang tengah kita alami sekarang ini merupakan takdir kita, sudah ditentukan oleh masa lalu kita. Tetapi yang menentukannya siapa? Kita, kita juga. Apa yang kita buat pada masa lalu menentukan masa kini kita. Nah, Sekarang, apa yang kita buat sekarang, dapat menentukan masa depan kita. Takdir sepenuhnya berada di tangan Anda. Bagi mereka yang mengetahui mekanisme alam ini, hidup menjadi sangat indah. Ia tidak akan menangisi takdirnya. Ia tahu persis bahwa ia pula yang menentukan takdirnya sendiri. Ini yang disebut Hukum Karma, Hukum Sebab Akibat. Karma berarti tindakan, karya. Karma bukan berarti tindakan baik, ataupun tindakan buruk, sebagaimana anda tafsirkan selama ini. Anda yang menderita, anda katakan itu Hukum Karma. Hubungan-hubungan Anda pada masa lalu, menghubungkan Anda kembali dengan mereka yang menjadi kawan Anda, keluarga Anda pada masa kini.” (Krishna, Anand. (1998). Reinkarnasi, Melampaui Kelahiran Dan Kematian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Menjadi Alat Hyang Maha Kuasa
Draupada juga menerima putrinya menjadi istri Pandawa, karena Sri Krishna berkata bahwa musuh utamanya Drona tidak bisa dikalahkan oleh Dhristayumna sendirian, dia harus dibantu Pandawa yang merupakan suami dari Draupadi. Draupadi menjadi istri masing-masing Pandawa setiap tahun dan mempunyai 5 putra dari 5 Pandawa yang mempunyai wujud mirip ayah mereka masing-masing.
Draupadi sadar bahwa dia sebenarnya hanya alat Hyang Maha Kuasa, untuk mempersatukan Pandawa, alat untuk membalaskan dendam ayahandanya serta alat untuk menegakkan dharma.
Bhagavad Gita 2: 27-28: “Ia yang lahir harus mati, ia yang mati harus lahir. Jangan gelisah, karena hukum ini memang tak terelakkan. Makhluk-makhluk yang kau lihat ini, wahai Arjuna, pada awal mulanya Tak-Nyata, pada masa pertengahannya terasa Nyata dan pada akhirnya menjadi Tak-Nyata lagi. Lantas apa gunanya kamu bersedih hati? Yang diketahui manusia hanya antara lahir dan mati saja. Kita ini sebenarnya hanya alatNya, yang dikirimkan untuk melakukan tugas-tugasNya, jadi kita seharusnya berbhakti sesuai dengan kehendakNya.” (Krishna, Anand. (2002). Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Bhakta Sri Krishna
Draupadi adalah devoti Sri Krishna. Dia selalu menembangkan Nama Krishna untuk melembutkan jiwanya. Pada suatu hari Krishna teriris jari tangannya dan Draupadi langsung menyobek kain sarinya untuk membalut luka Krishna. Draupadi penuh kasih terhadap Krishna tanpa mengharapkan apa pun juga. Krishna berkata bahwa bila Draupadi berdoa kepadanya, dia akan datang membantu.
Bhagavad Gita 7: 16-18: “Ada empat kelompok manusia yang berpaling pada ‘Aku’: mereka yang dalam keadaan duka, mereka yang ingin memperoleh pengetahuan tentang ‘Aku’, mereka yang sedang mengejar harta dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya, dan mereka yang bijak. Di antara mereka, yang unggul adalah ia yang bijak – yang berpaling pada ‘Aku’ hanya karena cinta dan kesadaran, tanpa harapan ataupun keinginan yang lain. Dengan berpaling pada ‘Aku’, sebenarnya mereka semua sudah melakukan yang terbaik, namun di antara mereka, ia yang mengasihi ‘Aku’ hanya karena kasih itu sendiri, sesungguhnya sangat bijak.” (Krishna, Anand. (2002). Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Dalam pengembaraan di hutan, pernah Pandawa kehabisan beras, padahal Pandawa akan kedatangan tamu Resi Durvasa beserta murid-muridnya. Resi Durvasa terkenal kesaktian dan sifatnya yang temperamental, sehingga apabila sang resi tidak berkenan dia sering mengutuk. Draupadi dalam kebingungan berdoa pada Sri Krishna, dan Sri Krishna datang. Draupadi berkata bahwa yang tersisa hanya satu butir beras ketan sedangkan dia harus menjamu Resi Durvasa dan para muridnya. Sri Krishna makan separuh butir dan berkata bahwa separuhnya diperuntukkan bagi dunia. Ketika Resi Durvasa dan murid-muridnya datang bertamu mereka semua telah merasa kenyang dan tidak ingin makan. Dan masalah Draupadi dan Pandawa terselesaikan.
Dihina para Korawa
Yudhistira yang gemar bermain dadu terpedaya oleh permainan Shakuni dan kalah bertaruh. Seluruh Pandawa telah dipertaruhkan dalam permainan dadu dan kalah sehingga mereka telah menjadi budak Korawa. Akhirnya Draupadi pun dijadikan taruhan dan kembali Yudhistira kembali kalah. Sebagai budak Korawa, Pandawa diminta melepaskan baju dan hanya memakai pakaian dalam, dan selanjutnya Dursasana juga berupaya menarik kain sari Draupadi.
Draupadi dengan lantang berkata, “Jika kalian menghormati ibu kalian, saudara-saudara perempuan kalian dan putri-putri kalian, maka jangan perlakukan aku seperti ini!” Tetapi para Korawa tidak mempedulikannya. Mereka mengatakan bahwa pakaian yang dikenakan Pandawa dan Draupadi pun sudah menjadi milik Korawa. Dursasana pun segera menarik kain sari Draupadi. Draupadi merasa sudah tak ada gunanya minta tolong kepada para suaminya yang telah menjadi budak. Dia minta tolong pada Resi Bhisma yang juga hanya diam seribu basa. Akhirnya dia memohon pada Sri Krishna. Dan, keajaiban pun terjadi kain sari Draupadi yang ditarik oleh Dursasana selalu digantikan dengan yang baru sehingga Dursasana kewalahan.
“Aku memenuhi keinginan setiap orang yang mengucapkan nama-Ku dengan tulus, dan meningkatkan kesadaran Kasih di dalam dirinya. Siapa pun yang mengagungkan kisah kehidupan-Ku dan ajaran-Ku, akan kulindungi dari segala macam mara bahaya.” (Das, Sai. (2010). Shri Sai Sacharita. Anand Krishna Global Co-Operation Indonesia)
Dhristarastra diberitahu Gendari perihal peristiwa Draupadi dan segera menghentikan perbuatan Dursasana. Takut Korawa dikutuk oleh Draupadi, Dhristarastra memberikan anugerah 2 hal kepada Draupadi. Draupadi minta Pandawa dibebaskan dan demikian juga senjata mereka. Akhirnya Pandawa diasingkan dan harus mengembara selama 13 tahun. Draupadi dengan setia mengikuti Pandawa mengembara. Peristiwa Draupadi dihina para Korawa sangat membekas di hati Pandawa, dan ini merupakan benih peperangan Bharatayudha.
Sumber:
1) M. Saleh (1992). Mahabarata. Jakarta: PN Balai Pustaka; 2) P.J. Zoetmoelder (1983). Kalangwan. Jakarta: Penerbit Djambatan; 3) http://id.wikipedia.org/wiki/Dropadi; 4) http://id.wikipedia.org/wiki/Drupadi_%28film%29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar